Merapi Seeker

Circa May-June 2006 mount Merapi at Central Java, Indonesia, seemed to get sick.
It "caughed" and got "cold" all the time, spilling out the red lava and hot clouds, as well as spreading out the volcanic ash to the cities around.
Some people said that the name of Merapi is derived from the old javanese words of "meru" (mountain) and "api" (fire). No wonder, it has been one of the most active volcano on earth. And I guess, I became a Merapi seeker...
view of Merapi, an evening at Wedi, Klaten
I found the thrilling sensation whenever I saw the active Merapi. That's why, I seek for the best views of Merapi everywhere.
I visited Ketep, a little village in Magelang that is located on the slope of the caughing mountain,
I visited Kemalang, another little village in Klaten regency, and whenever I passed through the route, I eagerly watched the glory of the power of nature...
Human are nothing but the fragile creatures... I saw thousands of people from the villages around the crater living in refugee camps everynight. Sad, but it reminds me that nature is still unbeatable power.

Ketep, Magelang. Trees were covered by volcanic ash.

With the Red Cross volunteers on volcanic sand and ash.

A chilling night at Kemalang, Klaten, where public vehicles were not allowed to pass, 8 km from the peak...

and that's what we witnessed from Kemalang: sparkling lava!

I still keep many other photos of Merapi in my PC. Some were taken from the air, when I flew from Jogja to Denpasar, Bali, and when I went back from Mataram to Jogja. In many weeks, Merapi had been a thrilling beauty. And again, I was lucky to have chances to see.

I Can't Swim, But I Did It! :-)


So, we had been so curious to see how the famous beautiful islands of Lombok look like. The islands that is said as heaven on earth, where the atolls are around, where the tourist partying from dusk til dawn.
That morning we started our journey at 9 a.m. from Senggigi Beach. We sailed in a private boat, which means that there were no other passengers but Jeff and me. It took 1 hour to sail in that wooden boat, with magnificent sceneries around.
I was amazed to see the beauty of the islands: coral reefs, white sand, clear water, and no car are allowed in that island. First we took a ride on a horse car called “Cidomo” to see around the first island, Gili Trawangan. Next we also visited the turtle hatchery, before we moved to the second island, Gili Meno.

People always said that when you come to Gili, you must see the beauty of underwater world. But how come, I can’t swim…But all my fears of getting drawn faded as I saw the crystal water. I finally decided to do that. YES, Snorkeling!

With the life jacket to keep me floating and snorkel that always went in wrong direction so I tasted the salty sea water, I managed to do that. Of course, I could only float well with the hands of Rizal, our boat captain and Jeff, my dear boyfriend around…

It was beautiful. I swam with the fish below, with the living corals… that later also wounded my knees. Ouch!

me and wooden boats, on the crystal clear water...

the northern beach of Gili Trawangan

no car, no motor! so here we are, with our Cidomo...

coral...coral..coral..

We didn’t stay longer to witness the famous all night beach parties, nor visiting the third island, Gili Air. But I guess am a lucky girl.
I witnessed another beauty of the earth…

Jalan-Jalan Lagi...

Liburan kali ini aku kembali belajar tentang negara kita tercinta. Thanks to my hubby wanna be, yang mau-maunya travelling dengan segala cara, mulai naik bis antar kota yang udah reot, ferry yang telatnya amit-amit sampai perahu kayu tanpa atap, atau lari-lari di tanjakan sekitar Malimbu Lombok saat aku gak kuat tancap gas dengan motor sewaanku. Dengan begitu aku melihat sisi lain Indonesiaku.

Dalam tiga minggu aku ada di Jakarta, Semarang, Klaten, Jogja, Solo, sebagian Bali dan sebagian Lombok. Sekarang sih baru terasa pegel-pegelnya, tapi aku beruntung banget, bisa menemukan banyak pengalaman baru.

Pertama, aku nggak menyangka kalau upaya fundraising dari karyawan Disneyland dan teman-teman kami di Perancis buat korban gempa mendapat sambutan hangat. Yang paling mengharukan adalah sampai-sampai anak-anak karyawan Disney ikut-ikutan nitip sebagian uang saku mereka ke orangtuanya, dengan pesan, "tolong belikan mainan atau alat-alat sekolah buat teman-temanku di Indonesia..." Mau tahu, berapa umur donatur termuda di "friends for java" network?

Umurnya 3 tahun. Namanya Arthur. Aku bertemu dengannya saat belanja di commercial centre Val d'Europe April lalu. Dia pemalu, tapi saat mamanya bercerita tentang anak-anak yang kehilangan rumah, dia ikut sedih dan menitipkan 60 sen buat project persahabatan ini...
Nah, sementara donatur tertua adalah Mamie, nenek Jeff dari pihak Papa. Umurnya sudah 94 tahun. Heuuu...umur 94 nanti kita masih bisa beramal gak ya?

Kedua, Minggu lalu saat teman-teman psychological healing dari PMI berbaik hati memberikan kesempatan buat melihat kegiatan mereka di kecamatan Wedi, Klaten, aku baru tersadar kalau ternyata aku lebih mengenal tanah kelahiran ayahku sekarang, dibandingkan saat semua bangunan masih berdiri tegak dan utuh.
Sekarang aku bisa bercerita, "itu dulunya SD Baturan 1 dan 2", atau, "itu dulunya balai desa"... setelah semua runtuh dan lebur bersama tanah yang mengering di kemarau ini.

Ada satu perasaan yang menyesak setiap kali aku datang ke daerah bencana: Rasanya apapun yang kita bawa tak pernah terasa cukup. Melihat rumah yang masih rubuh, melihat bekas-bekas jahitan di luka-luka para pengungsi, melihat anak-anak yang belajar dan bermain di bawah tenda... Rasanya aku ingin bisa membuat semuanya utuh seperti semula.
Maafkan kalau ini terdengar naif, tapi betul-betul, di saat-saat pemandangan itu terpampang di pelupuk mata, saat tanganku mampu meraba rekahan dinding yang terpuruk di bumi, sungguh aku ingin jadi manusia super power...I wish at least I was Bill Gates... not in the side of having Microsoft, but more to be with his foundation, of course.

Juga saat melihat tenda-tenda pengungsi Merapi. Sedihnya membayangkan perasaan was-was para penduduk di sana selama lebih dari sebulan ini. Siap mengungsi di sore hari, harap-harap cemas, berdoa biar tanah dan rumah nggak hancur dilalap sang wedhus gembel saat harus tidur berdesakan di tenda yang dingin. Hiks. Betul-betul, negeri kita lagi prihatin...

Ketiga, I found my old extacy back. Nikmatnya makan di dapur umum PMI, bermain bersama puluhan anak di desa-desa, ngobrol dan bobo bareng relawan lain di bawah tenda... kabur dari tenda dan pacaran diam-diam saat semua sudah tertidur.. (ups...) jalan bedua di sepanjang sawah desa jam 3 pagi cuma buat melihat Merapi yang melelehkan lavanya pelan-pelan dalam gelap, sampai melintasi batas larangan jalan menuju ke puncak Merapi, duduk berjam-jam di bekas lokasi penambangan pasir yang cuma 6 km jauhnya dari puncak, dan bermain dengan Nikon D-70nya Jeff untuk mengambil foto-foto lava pijar....

Keempat, semakin banyak travelling sebagai turis biasa (bukan sebagai luxurious tourist yang diantar-jemput dimana-mana) bikin aku melihat banyaknya "lubang" sekaligus keunggulan di dunia pariwisata kita.

Aku sedih dan malu saat menemukan banyaknya orang nggak jujur yang betul-betul menganggap turis (terutama turis asing) semata-mata sebagai sumber duit, bukan sebagai manusia biasa yang juga butuh liburan yang tenang dengan rasa aman. Aku sedih melihat mereka memakai alasan kemiskinan sebagai satu-satunya justifikasi mengapa mereka berusaha menarik untung sebanyak-banyaknya. Lucunya lagi, ada yang menawarkan komisi buat aku kalau aku bisa bikin Jeff beli paket yang mereka jual... lah, who did they think I am ya?

Banyak juga yang bilang, "mbak kan orang Indonesia, seharusnya mbak bantu kami dong, cari untung..."

Waduh. Padahal aku tuh orang yang paling ga bisa dan ngga suka nawar. Meski begitu, aku juga tahu dong, harga yang wajar dan nggak.... Orang asing, tanpa dikasih tau juga juga tahu duluan mana yang wajar dan nggak, bukankah ada Lonely Planet, Hatchette, dan buku-buku lain yang sejenis, yang menulis info lengkap dengan update situasi tahun demi tahun tentang apa yang ada di negara kita?
Gimana mau berharap turis mo balik lagi kalau begitu caranya?

Kebayang dong, misalnya saja saat naik ferry kita (dan turis-turis asing lainnya) di-charge Rp. 150.000 per orang, sementara saat sudah di kapal aku ngobrol bareng penumpang lain dan menemukan kalau penumpang lokal (yang sudah tahu) cuma membayar Rp. 30.000 per orang! Ironisnya lagi, ada polisi yang melihat semua transaksi itu di Padangbai, and, he said nothing!

Kebayang dong, betenya saat petugas hotel bilang kalau dengan Rp. 300.000 private boat yang telah menyediakan alat-alat snorkeling akan menjemput di dermaga belakang hotel, mengantar kita dari Senggigi ke pulau-pulau cantik Gili Trawangan, Gili Meno dan Gili Air, tapi ternyata kita harus jalan 1 km ke pelabuhan umum, membayar lagi sewa alat-alat snorkel, bahkan perahu pun nggak menyediakan life jacket sehingga kita harus sewa lagi.... dan selalu begitu, semua tidak dibicarakan di awal, tapi saat kita sudah dalam perjalanan, seperti jebakan. Dan hampir tiap hari aku menemukan hal-hal seperti itu.

Semua orang di sekitar hotel selalu memaksa kita naik travel service dengan embel-embel "sama kok, kaya naik taxi." Kenyataannya, sampai Selaparang aja mereka minta 50 ribu, padahal saat pergi bareng temanku, Lia, sampai ke Cakra (yang jauh lebih jauh dari Senggigi-Selaparang), argo taxi kita cuma menunjukkan angka 40 ribu...

It's not about the money. It's about the honesty. Ini juga masalah etika mengelola sebuah tempat dengan objek wisata potensial. Gimana kita mau merasa nyaman kalau kita tahu bahwa orang-orang di sekitar kita ngga jujur? Apalagi ditambah mereka memaksakan apa yang mereka mau, dan bukan apa yang kita mau.

Meski begitu, banyak foto indah yang berhasil kita ambil dari bumi Lombok yang cantik ini. I'll put it in pretty places page, tapi dalam seminggu lagi mungkin. Koneksi internetnya lagi payah nih...

Sejauh ini, Jogja adalah tempat yang kutemui PALING profesional dalam menjamin kenyamanan turis. Nggak cuma staf di hotel berbintang, tapi sampai ke tukang-tukang becak dan para pedagang di Beringharjo membuat kami merasa nyaman.

Mungkinkah daerah-daerah selain Jogja butuh pendidikan tentang etika pariwisata?
Ternyata negeri kita tak cuma kurang berpromosi, tapi juga tak sanggup membuat orang ingin kembali ke bumi yang indah ini...

Just to think. Maybe not too hard.
How can we start to overcome this problem?
Gimana caranya membuat para pendatang ini merindukan Indonesia?
Bagaimana caranya bikin mereka jadi pengunjung fanatik yang selalu ingin kembali ke Indonesia, tanpa takut ditipu orang, tanpa takut bom, tanpa takut dikerjai?
Hm... hope it's not too late to change.

Where Have I Been...

It's been oh-so long time not to write. Even just to check my blog and read the comments, the internet connection around me are fast enough to prevent me for finding blank pages.

Thank you very much for all comments and messages... it's also a big surprise to find my favorite french teacher, Beatrice, drop a message in my shoutbox! Merci beaucoup, Beatrice!

Where have I been so far...
Well, right after arriving at Sukarno-Hatta International Airport at the beginning of May, I fought some bad guys who tried to catch Indonesian Labours coming back from Abu Dhabi... I think it was my biggest fight in public space. I was very angry to see how they ran after 5 Indonesian workers, took control on their trolley and tried to fool those girls to follow them to "special door" for Indonesian labours, where they would be asked for money for nothing but horrible transport service by bus to central java and more money to have their meal on the way, and more money for every other little things...
Those girls were frightened. For them coming back to Indonesia is like a scary war to win, with too many bad guys welcoming them at the airport. And none powerful has ever overcame their problem. At that day, in front of my eyes, I saw illegal porters asked for Rp. 50.000 from each person just to carry their trolley from the ground to the first floor of the airport...

Just the first day back, and it's already so dramatic.
Another story follows. Soon, of course.