Saleum! Tak ada yang pernah benar-benar menjelaskan kepadaku sebelumnya, seperti apa Banda Aceh hari ini. Kabar terakhir yang kudapat tentang wajah Aceh datang dari teman kerjaku dari DAI-USAID. Dia sempat mendapat tugas melakukan assessment di Aceh 6 bulan pasca Tsunami dan setahun sesudahnya. Katanya, “Aceh was totally devastated, but one year after that it was developing, but I don’t know how far it has developed now.”
ada yang masih tertinggal...
ada yang telah mulai dibangun...
ada pula lantai tertinggal tanpa pernah dibangun kembali, saat seluruh keluarga telah berpulang...
Bayangan kedua yang kudapat tentang Banda adalah mahalnya biaya hidup di sini. Seorang teman, penyiar radio yang kukenal sejak awal 2004 bilang, harga tempat kos bisa mencapai dua jutaan, untuk sebuah kamar kecil dengan kamar mandi luar tanpa perabotan. Sementara harga kamar di UN guest house juga tak kalah mahalnya untuk ukuran Indonesia, 150 dollar sebulan, untuk sebuah kamar mungil tanpa kamar mandi. Padahal di Denpasar dengan harga itu sahabatku bisa mendapatkan sebuah flat mungil dengan ruang duduk, pantry dan kamar mandi yang dilengkapi dengan bath tube.
Berita di TV tak kalah membuat miris. Segala berita tentang Aceh selalu menggambarkan suasana di barak pengungsi atau banjir di Aceh Tamiang. Hm, karena itulah aku tak berharap melihat banyak hal di sini. Tapi aku juga tak akan kecewa atau surut, dengan kondisi apapun yang akan kuhadapi. Tinggal di kota kecil Cepu saat menjalani proyek community development assessment, hari-hari di camp darurat PMI pasca gempa Klaten atau bulan-bulan saat aku menjalani pemantauan Pemilu di Purwokerto kupikir telah cukup membuatku belajar untuk bertahan dengan sepinya hari-hari, sulitnya mencari sarana transportasi umum di malam hari atau sekedar tempat fotokopi.
Minggu, 4 Februari 2006, setelah kekacauan di bandara Ahmad Yani Semarang karena kerusakan radar di Garuda Indonesia, perjuangan mendapatkan seat di Sriwijaya Air di antara para penumpang yang panik, lalu berlari-lari mengejar shuttle bus dengan bagasi 33 kilo di tanganku dari terminal 1 Cengkareng sampai ke terminal 2, akhirnya aku bisa juga mengejar connecting flight ke Banda Aceh tepat waktu. Yang membuatku bangga, aku juga masih sempat memasang jilbab hijauku dengan rapi di toilet bandara. What a morning!
Cuaca Jakarta yang mendung segera terlewat dan berganti dengan birunya langit di atas pulau Sumatera. Seorang staff American Red Cross yang duduk di sampingku ternyata menjadi point informasi yang sangat berharga. Ah, Gusti Allah memang baik. Ruby, nama gadis itu, ternyata berteman dengan banyak orang baik yang kebetulan sama-sama bekerja di berbagai organisasi internasional di Aceh. Informasi tentang tempat kos sampai tempat nongkrong di Banda mengalir dengan ramah, sementara seorang bapak yang semula duduk di samping kanan kami pindah ke tempat duduk yang masih kosong di belakang.
Bapak berpostur besar ini kembali ke tempat duduknya sesaat sebelum pramugari mengumumkan bahwa kami akan tiba di Banda Aceh. Beliau sekilas menatap kami, lalu bertanya, “mbak-mbak ini dari mana?”
(dengan suaraku yang besar karena flu yang ngga sembuh-sembuh) “dari Semarang, pak.”
(dengan suara Ruby yang ramah) “dari Jakarta”
“di Aceh kerja?”
(serempak, aku dan Ruby) “iya pak”
“di NGO?”
(dengan agak sungkan, karena aku ngga suka mengekspos tempat kerjaku pada orang yang baru kukenal, apalagi aku belum mulai kerja…)
“saya di UNDP, dan mbak Ruby ini di American Red Cross.”
“oh” (wajah bapak itu berubah, tapi aku ngga bisa mendeskripsikan apa maksudnya)
“kalau Bapak?” (dia mengulurkan tangannya yang besar)
“Mirza Hussein, BRR”
“oh” (sekarang wajah Ruby yang berubah)
“sudah berapa lama di UNDP?” (ekspresi wajahnya masih sulit kudeskripsikan)
“besok baru mulai pak…”
“oh” (sekilas ada kesan memaklumi) “siapa yang ngajarin pakai jilbab?”
(ini pertanyaan beliau yang paling sulit kulupakan) Aku langsung ngga pede deh. Kupikir jilbabku sudah berantakan. “belajar sendiri pak, begitu tahu mau tugas ke Aceh saya beli bukunya Ratih Sang, tapi ya begini hasilnya…susah pakai jilbab rapi…kenapa pak, berantakan ya?” (tanganku sibuk membenahi jilbabku)
Pak Mirza tersenyum. “Nggak, bagus kok.” Tapi senyum beliau malah bikin aku tambah ngga pede. Perasaanku bilang, Bapak ini orang penting di BRR. Tapi sampai hari itu nama di BRR yang kukenal dari media-media nasional cuma Pak Kuntoro…
Ruby menepuk lenganku pelan. Setengah berbisik dia bilang, “Bapak ini juru bicara BRR…” A-ha, jadi begitu ya? Kesan pertamaku terhadap beliau adalah, wibawanya luar biasa. Kesan kedua, hum kayanya kami akan bertemu lagi nih…
Jajaran pegunungan yang hijau kebiruan terbentang di bawah kami, saat pramugari mengumumkan bahwa sesaat lagi kami tiba di bandara Sultan Iskandar Muda di Blang Bintang. Padatnya perumahan tampak jelas, beberapa kompleks tampak seragam dengan warna dinding dan atap yang sama, terutama di wilayah sepanjang pantai yang diratakan Tsunami. Oiya, bandaranya Banda Aceh ini ternyata tidak terletak di dalam kota, tapi di wilayayah kabupaten Aceh Besar. Landasan pacunya yang lebar dan panjang menandakan kesibukan bandara ini menerima pesawat-pesawat berukuran besar. Kupikir bandara ini malah lebih siap menjadi bandara internasional bila dibandingkan dengan bandara Ahmad Yani di Semarang atau Adi Sucipto di Yogyakarta.
Pendaratan berlangsung mulus. Seluruh hatiku mengucap syukur. Ada perasaan luar biasa di hatiku yang berkata, Gusti Allah telah begitu baik dengan mengirimkanku ke sini. Ada perasaan lain yang berkata, “Asri, segalanya dimulai di sini.”
SMS dari teman sekantorku, Angel, menyambut begitu aku menghidupkan Samsung-ku. Sudah jam 12 siang. Mobil UNDP telah siap menjemput, dan seorang driver mengacungkan kertas bertuliskan namaku di luar sana. Aneh rasanya, dalam dua minggu telah tiga kali aku tiba di sebuah tempat dengan tiga driver yang berbeda menunggu sambil mengacungkan namaku dengan identitas berbeda-beda tertulis di bawahnya… Porter di bandara banyak sekali, namun semuanya santun, tak ada yang memaksa, apalagi menarik-narik tas penumpang.
Tas 33 kilo yang telah menemaniku melintasi 4 negara dalam setahun terakhir ini sama sekali tak terasa berat. Lucu rasanya, setahun lalu, di jam dan tanggal yang sama aku berlari-lari di Charles de Gaulle dengan tas yang sama, namun dengan empat lapis pakaian tebal yang membungkus tubuh mungilku, suhu minus satu derajat dan butir-butir salju yang melayang-layang di udara. Sementara hari ini, matahari memanaskan bumi Aceh sampai di titik 33 derajat, dan aku terbungkus rapat dalam baju muslimah…setahun lalu aku sedang jatuh cinta, dan hari ini aku sedang merasa sangat-sangat bahagia…
Isna, Solidarity Group mate dan saudara sekontingenku saat SSEAYP 2003 memelukku erat-erat. Sudah lebih dari tiga tahun kami tak bertemu. Ah, Gusti Allah sungguh baik, mempertemukan kami kembali. Driver UNDP sangat santun. Mobil kami melintasi jalan-jalan yang sepintas tampak seperti jalan-jalan yang kulintasi dari pelabuhan Padang Bae sampai kota Mataram di Lombok. Yang beda dari kota-kota lain di Indonesia adalah pakaian para perempuan yang kulihat di sepanjang jalan: hampir semuanya berjilbab,dan papan-papan nama di depan gedung-gedung pemerintahan ditulis dalam huruf latin dan huruf hija’iyyah. Aku merasa damai di sini.
Tigapuluh menit kemudian kami tiba di wilayah Geuceu, Banda Aceh. Papan-papan bertuliskan nama-nama organisasi internasional terpasang di sudut-sudut jalan. Habitat, Oxfam, European Union, UNDP… semua menandakan, sesuatu yang besar pernah dan sedang berlangsung di kota ini. Kantorku berpagar putih, dengan security guards yang juga santun dan ramah. Dua jam pertama di kantor kulewatkan dengan berusaha memeras otak untuk membuat strategi dan rencana kerja untuk menjalankan Early Warning System di NAD dan Nias.
Team DRR
Rasanya agak kaget juga, mindset-ku belum siap untuk memproduksi apapun yang berhubungan dengan Disaster Risk Reduction Project. Otakku masih penuh berisi daftar pertanyaan assessment jalur-jalur komunikasi dan struktur pemerintahan di wilayah Blok Cepu. Yang ada di kepalaku masih wajah-wajah para wartawan, wajah Beau dan Lauren, pengurus desa dan kecamatan, serta lapangnya tanah-tanah hijau calon lokasi eksplorasi minya di Cepu dan Bojonegoro, juga calon jalur pipa yang penuh dengan hutan jati yang subur kearah Tuban. Kacau deh…
Untung Angel, teman kerjaku, dan Bang Novel begitu mengerti. Kami akhirnya banyak bicara dan mereka menyarankanku untuk beristirahat dan meneruskan pekerjaanku saat retreat di Sabang di hari berikutnya.
Jam empat sore Isna menjemputku. Sebelum mendapat tempat kos, aku numpang tinggal di rumahnya. Ramainya jalan-jalan di Banda Aceh telah cukup berkata bahwa seringkali kita yang berasal dari luar Banda disuguhi informasi tak berimbang, yang hanya menyoroti sebuah wilayah dari satu sisi saja.
Peunayong, Chinatown-nya Banda Aceh
Banda Aceh ramai sekali. Warung-warung kopi mulai menata kursi-kursi plastik berwarna-warni di sore hari. Gerobak-gerobak penjualan makanan, mulai dari yang bertuliskan mie udang sampai sate jawa tampak juga mempersiapkan diri menyambut malam. Jaringan waralaba internasional, KFC dan A&W juga ada, berbaur mewarnai sisi-sisi Banda Aceh yang juga menawarkan Pizza dari Pizza House atau Papa Ron, sampai resto masakan Cina, Kapau masakan Padang, makanan Turki, sampai waralaba lokal Wong Solo.
Jaringan supermarket lokal Pante Pirak juga tampak ramai, sementara mobil-mobil impor berukuran besar dengan gambar logo berbagai organisasi internasional juga berlalu-lalang di jalan. Rumah Isna terletak di kecamatan Syiah Kuala, desa Jeulingke. Kami melintasi masjid raya Baiturrahman yang legendaris dan Krueng Aceh yang terekam dalam kamera dengan timbunan sampah dan orang-orang yang hanyut saat tsunami 2004. Semua sekarang telah bersih dan rapi. Bahkan, menurutku, Krueng Aceh adalah sungai besar di kawasan perkotaan terbersih yang pernah kulihat di Indonesia. Beberapa gedung besar seperti gedung PLN masih terbengkalai dengan sisa-sisa gempa dan tsunami yang tak dibersihkan. Kata Isna, saat tsunami air sempat mencapai ketinggian lampu-lampu jalanan, atau lebih dari tiga meter…
Isna dan aku
Kamar Isna besar sekali. Yang paling aku suka dari rumah bercat kuning ini adalah keramahan keluarga Isna, dan dinginnya udara di dalamnya, meski di luar matahari bersinar terik. Hari pertama di Banda… hm, rasanya aku suka…