Alhamdulillah aku nggak kena jet lag meski waktu di Semarang dan Perancis beda 6 jam.
Minggu siang kemarin aku puas-puasin jalan ke museum Louvre. Tujuan utamanya nonton Monalisa sambil mengira-ira lokasi-lokasi yang diceritakan di Da Vinci Code.
Paris is as usual, feels alive, meski suhu hari itu 1°C. Di stasiun kereta bawah tanah tetap saja ada para pengamen yang bagus banget main musiknya. Ada yang main musik Rusia sambil nari, ada juga yang main kulintang. Hm, kalau begini rasanya nggak sayang kita kasih uang receh ke mereka.
Hari Minggu di minggu pertama tiap bulan, kita bisa masuk ke semua musem di Paris gratis. Biasanya tiket masuk Louvre adalah € 8.5 atau sekitar Rp.95,000. Ternyata yang namanya gratisan dimana-mana memang menarik. Nggak heran, antrean di pintu masuknya panjaaaaaanggggg banget. Yang bikin lama adalah karena sebelum masuk kita harus melewati pemeriksaan X-ray kaya di bandara.
Menjelajah Louvre nggak akan selesai dalam satu hari. Kemarin kita menjelajah bagian French and Italian painters dan Roman histories. Kadang sampai merinding ngeliat patung-patung kaisar Romawi kuno atau peti jenazah yang umurnya sudah 20 abad dan masih bagus.
Luksan-lukisannya juga nggak kalah seru. Ada lukisan Napoleon yang dengan sombongnya memahkotai diri sendiri sambil berdiri membelakangi Paus, lukisan perang di Rusia, dimana Napoleon puas banget dengan hasilnya sampai-sampai si pelukis dianugerahi medali kehormatan, sampai lukisan pertempuan Jean d'Arc yang seru dan berdarah-darah...and of course, Monalisa.
Jujur aku selalu coba cari alasan terbaik kenapa Monalisa dipuja-puja. Antrean pengunjung buat melihatnya amit-amit panjangnya, padahal lukisannya kecil, suram, nggak cantik, dibalik kaca yang penuh sensor infra merah pula. Kata Jeff, mungkin dia dipuja lebih karena siapa yang bikin dan bukan karena gimana hasilnya. Karena Da Vinci adalah orang yang cukup misterius kerja otaknya sebagai inventor, artist, sekaligus scientist, orang jadi berpikir, apa ya, yang ada di otak da Vinci saat melukis perempuan ini?
Hmm...kalo diingat-ingat kan memang orang-orang modern yang sibuk mengira-ira ada apa di balik Monalisa?
Kami selesai jalan-jalan bukan karena bosan, tapi karena lapar banget... makanya kami lalu sibuk cari-cari tempat untuk makan siang. Akhirnya kita jalan ke Rivoli, ke sebuah cafe yang dengan bangga mencantumkan "depuis 1827" atau "sejak tahun 1827" (aku lupa nama cafenya) dan pesan quinche (sejenis pie dengan isi krim dan keju plus daging-dagingan atau sea food atau jamur) yang uenak banget... disajikan dengan green salad. Hmmmm...
Kalau mau ngerasain "rasa perancis" yang sesungguhnya, memang kita lebih baik masuk ke kafe-kafe kuno yang banyak bertebaran di Paris. Makanannya Perancis banget, kaya krim, keju, atau susu, dengan banyak pilihan wine. Biasanya mereka sudah buka sejak lebih dari seratus tahun lalu. Jadi saat negara kita masih sibuk mengusir penjajah, orang-orang Perancis udah enak-enakan hang out di cafe...
Buat yang muslim, jangan ragu untuk bilang kalau kita minta halal food. Selain karena Islam adalah agama terbesar kedua setelah katolik di negara ini, banyak imigran muslim di negara ini, juga karena layanan buat turis adalah nyawa kota ini.
Setelah lunch yang telat itu kita jalan-jalan di Carrousel du Louvre, taman yang ada di depan Louvre. Di taman ini kita bisa liat 4 landmarks Paris sekaligus: Eiffel, Louvre, Arc de Triomphe dari jaman Napoleon Bonaparte dan Obelisk hadiah dari kerajaan Mesir tempo doeloe.
Ini salah satu taman favoritku, salah satu taman yang paling cantik di Paris. Fuh... pas musim panas sih aku suka banget duduk-duduk di taman ini, nonton bebek berenang di bawah air mancur atau sambil kasih makan burung-burung. Tapi, kali ini kan musim dingin... siang itu suhunya 1°C!
Sore sampai malamnya aku hang out bareng sahabat-sahabat Jeff di kafe di kawasan Saint-Germain. Sekali lagi kafenya juga sudah brumur lebih dari 150 tahun. Ternyata nggak ada satupun dari kami yang minum alkohol, bahkan nggak ada yang ngerokok. Kita malah sibuk ngusirin orang-orang yang ngerokok di sekitar tempat duduk kita, dengan alasan, "maaf, di sini ada ibu-ibu yang lagi hamil..."
Saat orang-orang yang kita usirin itu menoleh, selain Morgan dan Sophie yang lagi bener-bener hamil, aku dan Karine ikut-ikutan gedein perut dan mengelus-elusnya...and it works!
Para perokok itu menyingkir sambil minta maaf...hehehe...
Bohong besar kalau ada yang bilang tiap nongkrong di cafe para bule selalu pesan alkohol. No-no-no... memang di meja lain banyak yang pesan wine, tapi di meja kami, bahkan para pria memilih pesan coklat panas dan pie apel. Paling pol coca-cola. Sumpah, itu coklat panas terenak yang pernah aku coba.... nyammmmm... .
Malam itu ada pasangan Morgan dan Steve, Sophie dan Cyrill, Karine dan Francois, dan of course, Asri dan Jean-François. Satu-satunya perempuan bule asli cuma Morgan. Sophie dari Maldives, Karine blasteran Thailand-Perancis, dan aku Indonesia. Umur kita sepantaran, dan semua bisa bahasa Inggris, jadi asik banget ngobrolnya.
Seperti yang sudah kudengar dari cerita-cerita Jeff sebelumnya, semua baik dan bersahabat.
2 sahabat Jeff, Morgan dan Sophie malah menawarkan diri untuk ngajarin aku bahasa Perancis full-time, karena kebetulan mereka berdua lagi hamil pertama dan para suami mengizinkan mereka nggak bekerja sampai baby-nya lahir dan cukup besar untuk ditinggal. Jadi mereka punya banyak waktu buat nemenin dan ngajarin aku. Mereka bilang, belajar bahasa Perancis sama teman lebih baik daripada belajar di tempat kursus. Mereka siap kasih banyak pelajaran, mulai dari bahasa sampai masak makanan eropa...
Mereka berdua semula punya karir yang cukup bagus. Morgan sekretaris di balaikota Paris dan Sophie graphic designer di kantor tata kota. Morgan malah pernah tinggal dan kerja di USA 3 tahun, dan dengan mudah mereka memutuskan berhenti kerja begitu kehamilan masuk bulan ketiga.
Seneng rasanya, liat para suami yang bertanggung jawab, plus istri-istri yang berani memutuskan untuk pergi dari hal-hal materialistis demi anak dan keluarga...
Orang-orang di sekitar keluarga ini jauh banget dari cerita-cerita negatif soal gaya hidup orang barat... bahkan nggak banyak lagi kebaikan seperti ini bisa kita temukan dari orang-orang di sekitar kita di Indonesia...hiks. Setelah kupikir-pikir, di kebanyakan negara Asia orang keliatan terlalu sibuk dengan hidupnya sendiri. Kejar karir yang lebih tinggi mati-matian, keharusan untuk punya ini dan itu, prestiges, gengsi, sementara di sini, lebih banyak orang muda yang memilih untuk menjalani hidup dan bahagia tanpa harus jadi ini dan itu.
Kalau orang bilang Paris adalah pusat mode dan kita jadi bayangin kalau semua orang berdandan sophisticated, I think it's a big NO. Paris means "dress whatever you like." Kita nyaman banget untuk jadi diri sendiri di sana. Branded fashion outlets memang banyak, tapi lebih banyak turis yang datang dan belanja di sana daripada orang asli Perancis.
Kemarin kita nggak jadi ke Disney. Papa minta kita main ke rumah nenek yang tinggal di apartemen dekat rumah. Lucu, begitu liat aku di depan pintu, beliau langsung mengenali aku tanpa harus kenalan. Beliau sudah 90 tahun, tapi kegesitan, kemampuan fisik dan pikirannya masih kaya nenek umur 60 tahun. Kita nonton foto-foto lama (terlama dari tahun 1906 dan fotonya masih bagus!), dan dengerin cerita-cerita lama mulai soal banjir di sungai Marne dekat rumah, perang dunia I dan II, sampai soal masa kecil papanya Jeff.
Kita panggil nenek "mamie" dan kakek "papie".
Luar biasa banget, 90 tahun beliau masih sehat, nggak tremor, masih masak, belanja dan bersih-bersih rumah sendiri.
Yang juga luar biasa adalah kualitas foto-foto yang disimpan beliau. Aku takjub banget, ada foto papie pas masih TK, bareng teman-teman sekelas dan gurunya yang masih pakai gaun mengembang kaya little Missy. Semula kita bingung, papie yang mana, karena keliatannya semua perempuan. Ternyata pada masa itu anak-anak cowok dari bayi sampai umur 5 tahun berambut panjang dan rambutnya diikat dengan pita!!! cuteeeee....
Ada juga foto keluarga mamie yang sampai sekarang masih bingung mereka ini keturunan Italia atau Spanyol, gara-gara nama keluarga mereka "Maria" dan mereka berambut hitam ikal dan bermata coklat besar. Orangtua mamie punya toko alat-alat berkuda... bisnis yang jelas-jelas cuma bisa hidup dengan baik saat mobil belum diciptakan...
Melihat foto-foto papie dan mamie serasa melihat sejarah perancis plus perkembangan modenya. Selain foto-foto keluarga juga ada foto pameran dirgantara perancis yang pertama, foto pesawat jet pertama yang dimiliki Air France, foto papie pakai seragam tentara perancis saat perang melawan Jerman, foto pernikahan papie dan mamie, foto kayak (sejenis perahu) yang pernah dipakai seseorang buat melintas selat antara perancis dan inggris tapi kemudian dijual murah dan dibeli papie buat berperahu sepanjang sungai Marne bersama papa dan tante Monique di musim panas...atau buat mengantar papa berangkat sekolah saat Champs sur Marne banjir di awal musim semi..
Dulu di tahun 50-an kota ini sering banjir kaya di Semarang dan Jakarta, tapi sejak tahun 70-an pemerintah bisa mengatasinya dengan pembangunan drainase dan kanal-kanal yang baik. Jadi sekarang aku yakin, kota-kota banjir di negara kita pasti juga bisa diperbaiki, asal dengan goodwill yang kuat dari pemerintahan yang bersih.
Semua foto diberi catatan tahun, bulan dan tanggal. Ternyata semasa hidup, bahkan sejak jaman perang, papie suka fotografi dan mencetak foto-fotonya sendiri. Hobi fotografi ini menurun ke papa dan Jeff.
Aku juga tanya, mamie dan papie dulu ketemuannya gimana. Ternyata mereka ketemu di Ball, atau pesta dansa di Centre de la Ville (hmm...semacam pusat pertemuan atau aktifitas kota) yang diadakan seminggu sekali di Marne. Mamie bercerita, dia bisa macam-macam tarian: tango, waltz, tap dance... dan beliau tanya, "kamu bisa nari apa nak?"
Waduh. Gubrak.
Kalian tau kan, melihat aku nari adalah salah satu hal paling menyedihkan di muka bumi ini???
hehehehe....
Di sepanjang perjalanan pulang aku dan Jeff menemukan satu kesimpulan; hobi-hobi yang dijalani para cucu mamie kebanyakan berasal dari faktor genetik.
Selama ini ortu Jeff selalu bingung kenapa Mag, adik Jeff, suka banget ke diskotik. Dilihat dari faktor genetik, kita nemu garis merahnya. Mamie dan Papie suka ke Ball, which is, the very old version of a discotheque.
Nggak heran kalo cucu perempewinya sekarang juga suka dugem...hahaha...
Jeff dan Papa suka fotografi. Yah, nggak heran lah, Papie juga suka..
Jeff suka koleksi model miniatur dan foto pesawat. Kamarnya penuh model pesawat, bahkan lemari pajangannya sampai ngga muat lagi. Ternyata Papie juga dari dulu suka nonton aeroshow, dan foto pesawat koleksinya ada dimana-mana di seluruh rumah.
So guys, kalau hari ini kalian ngerasa ada kebiasaan atau hobby aneh yang kalian punya, don't worry. Bisa jadi itu juga faktor genetik!
Popular Posts
-
KEGIATAN PENUGASAN TERSTRUKTUR DAN MANDIRI SMP ISLAM AL AZHAAR TULUNGAGUNG Mata Pelajaran : Bahasa Indonesia Kelas/Semester : VIII/1 Standa...
-
1. Perhatikan kutipan paragraf berikut! (1) Kegiatan membaca merupakan upaya dalam menyerap informasi. (2) Hal tersebut merupakan langkah aw...
-
Biografi Merari Siregar Merari Siregar dilahirkan di Sipirok, Tapanuli, Sumatra Utara pada tanggal 13 Jul...
-
Menulis Naskah Drama Pada hakikatnya, inti karya sastra yang berupa drama adalah adanya konflik (pertentangan-pertentangan). Konflik-konflik...
-
A. Bacalah teks berikut dengan seksama kemudian kerjakan soal nomor 1 dan 2! Di Indonesia kasus HIV/AIDS terus mengalami peningkatan yan...
-
Bahasa Petunjuk Petunjuk Tertulis Petunjuk ~ wacana yang berisi penjelasan suatu proses pembuatan sesuatu / penggunaan sesuatu. ~ Wacana eks...
-
Champs sur Marne, almost end of winter. Musim dingin harusnya berakhir 23 hari lagi, tapi cuaca ngga juga menghangat. Empat hari terakhir in...
-
Armijn Pane Biografi 1. Latar Belakang Keluarga Menurut J.S Badudu dkk. (1984:30). Armijn Pane juga bernama...
-
Being far away from the man that I love got me into this song so much. It's a piece from Phantom of the Opera, one of the most touching ...