Sesungguhnya, sejak sepuluh tahun yang lalu, dalam perjalanan pertamaku, aku telah menyadari bahwa tinggal di luar negeri membuatku lebih mencintai tanah kelahiranku. Tinggal di belahan bumi yang lain membuatku ingin melihat bumi Indonesiaku jadi lebih baik dari waktu ke waktu. Aku selalu ingin pulang dan berharap bisa melakukan sesuatu. Banyak hal yang membuatku merasa begitu...
Di bumi eks-kolonialis ini kadang aku masih bertemu dengan sosok-sosok rasis yang berpikir bahwa manusia yang dilahirkan dengan kulit berwarna tak sebaik manusia berkulit putih. Aku bertemu dengan manusia-manusia ini di banyak kesempatan; dalam acara makan malam, di kereta, bahkan di ruang kelasku. Tak ada hal manis yang mereka sampaikan tentang negara kita, bahkan dari cara mereka memandang atau memperlakukanku, terasa benar bahwa mereka melihatku dengan "berbeda".
Seorang rasis di kelasku bahkan tak pernah menunjukkan sikap yang menyenangkan terhadap siapapun yang "berwarna". Saat dia harus bekerjasama dalam kelompok denganku, dengan seorang teman dari Peru keturunan Indian, atau dengan seorang warga Amerika Serikat keturunan Vietnam, dia tak pernah mau mendengarkan apapun yang kami katakan. Sialnya, dia bercita-cita jadi diplomat, atau politisi kenamaan!!! Waks. Seperti apa ya, nantinya, "kebijakan" yang dia buat? Pasti tidak akan bijak sama sekali untuk seluruh warga negaranya. Bukankah tidak mungkin, dalam suatu negara semua orang memiliki "warna" yang sama?
Masih banyak yang berpikir bahwa negara kita tak mungkin memiliki teknologi yang lebih maju, atau memiliki apapun yang lebih dari apa yang mereka miliki saat ini, termasuk dalam hal jumlah channel TV yang bisa diakses oleh publik. Banyak orang Perancis yang kukenal terlihat agak terganggu saat tahu bahwa Indonesia punya lebih banyak channel TV untuk umum daripada Perancis. Wah, padahal aku belum sempat cerita soal jumlah infotainment di negara kita...hehehe..bisa pingsan mereka! (btw, banyaknya infotainment di Indonesia patut dibanggakan ngga sih? :-p)
Aku sering geram dan sedih saat aku bertemu dengan orang-orang itu. Geram karena stigma yang mereka pasang tentang kita, dan sedih karena kenyataannya kita memang tak punya terlalu banyak hal yang bisa dibanggakan.
di kelas baruku memang lebih banyak yang putih daripada yang berwarna...
Masih banyak sekali orang-orang di Eropa yang tak tahu, dimana letak Indonesia, apalagi nama ibukotanya. Yang mereka tahu, Indonesia identik dengan korupsi besar-besaran, termasuk korupsi dana bantuan yang "mereka" berikan; termasuk bantuan untuk korban Tsunami. Hum, yang ini memang bikin muak dan malu. Indonesia identik dengan bom dan anarki. Indonesia identik dengan kemiskinan dan kesenjangan sosial... Soal terkenalnya kesenjangan sosial di Indonesia, aku punya cerita.
Ada seorang teman sekelasku yang ramah sekali. Dia perempuan asal Yunani, yang di negaranya memiliki sebuah hotel berbintang empat. Ngga heran kalau dia sudah berkunjung ke banyak negara, salah satunya Indonesia.
Suatu hari kami duduk bersama di cafetaria, dan dia berkata. "J'ai visité ton pay. C'est trés jolie." Aku pernah mengunjungi negaramu. Negara yang sangat indah.
Aku tersenyum lebar mendengar komentarnya. Aku senang sekali.
"Indonésie est un pay tres interessant aussi." Indonesia juga negara yang sangat menarik.
Hum, senyumku makin lebar, penuh kebanggaan.
"Pourquoi, tu pense?" Kenapa menurutmu (Indonesia adalah negara yang menarik)?
Di kepalaku, aku berpikir dia akan bicara tentang kebudayaan kita yang beragam. Dan ya, dia bicara tentang "budaya" di negara kita.
"C'est tres interessant parce qu'il y a une grande différence dans la classe sociale. Les riches sont tres riches, et le pouvres sont tres pouvres..." Indonesia sangat menarik karena adanya perbedaan yang besar dalam kelas sosialnya. Yang kaya sangat kaya, dan yang miskin sangat miskin..."
Gubrak. Wajahku serasa ditampar bolak-balik, sementara wajah Carita, temanku itu tetap penuh senyum tak berdosa. Dia benar. Dan aku, sekali lagi, sedih sekali. Kebenaran memang seringkali terasa pahit di hati...
Saat aku jauh dari Indonesia aku selalu mengikuti berbagai perkembangan di bumi kelahiranku. Kasus korupsi masih terus ada. Euh, by the way busway, tahukan kalian, kalau bahkan di buku panduan perjalanan terbitan Hachette ada bagian khusus tentang bagaimana korupsi merajalela di negara kita? Aku menemukan buku terbitan tahun 1996 ini di pasar barang bekas di Gournay. Yang lebih pedih lagi, ada trik untuk para wisatawan asing yang berurusan dengan polisi di jalan. Pertama-tama, tunjukkan wajah tak berdosa. Kedua, teruslah bicara dalam bahasamu. Kalau hal ini tidak membuat polisi yang menghentikanmu menyerah, tawarkan uang. Biasanya dengan Rp. 10,000,- (jangan kaget dengan jumlah ini, sekali lagi, buku itu diterbitkan tahun 1996!).... kalian (para wisatawan) bisa bebas dari segala hukuman. Hal ini dianggap penting untuk diketahui oleh para wisatawan karena "penyelesaian di jalan" biasanya jauh lebih mudah daripada di pengadilan...
RUU APP juga jadi pertanyaan di sini. Perda tentang ciuman lima menit made in Tangerang masuk di Oddly Enough di berbagai media Eropa. Sekali lagi bangsa kita dianggap melakukan hal "aneh". Draft RUU APP membuat kebanyakan perempuan terlihat sebagai "mahluk porno". Atau tentang ciuman lima menit, atau tentang razia perempuan yang disangka pelacur. Please deh... semua orang juga tahu bahwa banyak PSK yang beroperasi di hotel berbintang dan ngga pernah tersentuh.
Semua orang juga tahu bahwa lewat internet kita bisa dapat gambaran tentang seks yang indah maupun yang tidak indah, yang mendidik ataupun tidak mendidik. Dengan represi ke"tabu"an yang ada di sekitar kita, hal ini bisa jadi membuat banyak orang nantinya tambah penasaran dengan cara yang tidak indah. Hellooouuuuu.... apa kabar para pembuat peraturan? Sudahkah hal-hal seperti ini dipikirkan?
Sudahkah dibayangkan bahwa besarnya represi seringkali memperbesar pula rasa penasaran dan penolakan terhadapnya? Apakah tidak lebih baik bila kami, warga negara Indonesia belajar tentang kesehatan reproduksi yang benar dan belajar tentang penghargaan terhadap gender yang ada? Biarlah kami belajar berpikir dan mengelola alam pikir, bukan hanya menghafalkan boleh dan tidak boleh, tapi juga memahami boleh dan tidak boleh secara rasional.
Yang kami butuhkan untuk berangkat menuju bangsa yang dikenal sebagai bangsa yang beradab adalah kail untuk menangkap kehidupan yang lebih baik. Jaring pengaman sosial yang sesungguhnya bukanlah roti dan komedi. C'est passé. Sudah lewat atuh, sejak ratusan tahun yang lalu. Manusia ber-evolusi dan be-revolusi. Bukan hanya tinggi badan kita yang bertambah, tapi juga tingkat intelektualitas kita telah berbeda.
Memikirkan sistem pendidikan yang layak, yang mendidik keahlian berpikir logis dari berbagai sisi, bukan yang mendidik kita untuk menghafalkan terasa lebih penting daripada semata-mata mengurusi apa yang disebut sebagai "moral". Kalau saja pendidikan yang baik itu tersampaikan ke seluruh pelosok negeri, pasti akan lebih banyak pemikir handal di bumi kita. Seandainya saja perlindungan dan rasa aman, kepercayaaan, perlindungan para saksi dan hukuman yang setimpal benar-benar ada, maka bandit-bandit kemaksiatan akan berpikir seribu kali sebelum beroperasi. Saat ini terjadi, negara tak perlu lagi bersusah payah menciptakan aturan yang berusaha menegakkan "moral" seperti saat ini. Ing ngarsa sung tuladha. Di depan memberi contoh. Suka atau tidak, itulah sistematika sederhana yang secara alami masih berlaku dalam pembentukan perilaku suatu bangsa.
Kulitku memang berwarna. Aku memang orang Indonesia. Aku telah menapakkan kaki di belahan bumi yang berbeda. Aku telah menanggung cap "bangsa yang bodoh" dan "bangsa yang tidak bisa dipercaya dan biadab (salah satunya karena 'memakan' dana bantuan kemanusiaan)". Mungkin tidak cuma aku, tapi juga teman-teman kulit berwarna lain pernah merasakan cap ini. Sungguh, aku berharap, negara tak akan berbuat lebih banyak untuk membuat Indonesia terlihat semakin bodoh lagi.
Sisi baiknya adalah, secara perseorangan atau berkelompok, kita jadi berusaha sebaik mungkin untuk menunjukkan bahwa kita tak seburuk yang mereka sangka. Selalu ada cahaya di balik awan kelabu. Setidaknya, kita jadi berharap Indonesia akan lebih baik di lain waktu, dan harapan menumbuhkan gerakan untuk membuatnya nyata.
Suatu hari nanti semoga orang Indonesia bisa berkata dengan bangga, Viva kosmetika Indonesia!... ups, maksudku, Viva Indonesia! :)