Peribahasa ini memiliki arti bahwa hendaknya kita memikirkan segala perkataan yang akan diucapkan karena kata yang telanjur terucap dapat merugikan diri sendiri.
Mulutmu harimaumu
Peribahasa ini memiliki arti bahwa hendaknya kita memikirkan segala perkataan yang akan diucapkan karena kata yang telanjur terucap dapat merugikan diri sendiri.
Bagai menegakkan benang basah
Peribahasa ini berarti melakukan suatu pekerjaan yang mustahil terjadi. Atau melakukan sesuatu yang sebenarnya sudah diketahui dari awal tidak akan berhasil
Bagai air di daun talas
Peribahasa ini menggambarkan ketidakcocokan antara dua orang seperti air yang ditaruh di atas daun talas. Selain itu, peribahasa ini dapat berarti orang yang tidak punya pendirian/keteguhan hati.
Belajar ke yang pintar, berguru ke yang pandai
Peribahasa itu hendak mengingatkan kepada kita bahwa orang pintar dan orang pandai dapat dijadikan sebagai tempat belajar dan berguru. Mereka itu merupakan orang yang memiliki ilmu pengetahuan dan pengalaman yang dapat disebarkan kepada orang lain. Dengan demikian, orang yang belajar dan berguru kepadanya akan bertambah ilmu pengetahuannya dan pengalamannya.
Peribahasa itu memberi makna bahwa kita jika akan menuntut ilmu kepada orang yang tepat, yaitu orang yang berilmu pengetahuan dan orang yang mempunyai pengalaman.
Kalah jadi abu, menang jadi arang
Abu adalah sisa yang tinggal setelah suatu barang mengalami pembakaran. Arang adalah serbuk hitam bekas kayu yang terbakar. Jadi, baik abu maupun arang merupakan barang yang terjadi karena pembakaran. Biasanya sesuatu yang kita masak menjadi abu atau arang tidak dapat dimanfaatkan lagi. Hal itu berarti kita mengalami kerugian. Jadi, abu dan arang itu mengiaskan kerugian. Kalah dan menang merupakan hasil pekerjaan dari dua orang yang mengadakan pertandingan atau perlombaan. Namun, dalam peribahasa itu kalah dan menang terbatas pada dua orang yang bertengkar atau berkelahi.
Peribahasa itu menasihati kita agar jangan bertengkar atau berkelahi karena yang kalah dan menang sama-sama akan menderita kerugian.
Lempar batu, sembunyi tangan
Sesuatu yang dilemparkan pasti ada seseorang yang melakukan lemparan. Namun, ada juga yang melakukan lemparan, kemudian orang itu bersembunyi sehingga tidak diketahui siapa pelemparnya. Artinya, orang itu tidak mau bertanggung jawab atas perbuatannya. Orang seperti itu digolongkan sebagai pengecut, yaitu berani berbuat, tetapi takut bertanggung jawab atas perbuatanya. Jadi, peribahasa itu mempunyai arti berani berbuat, tetapi takut bertanggung jawab.
Berjalan peliharakan kaki, berkata peliharakan lidah
Dalam peribahasa itu, berjalan dan berkata diumpamakan dengan perbuatan dan perkataan kita. Dalam melakukan pekerjaan hendaklah setiap orang berhati-hati agar terhindar dari kesalahan. Baik kecil maupun besar, kesalahan yang kita lakukan akan merugikan diri sendiri. Kita juga harus menjaga perkataan kita agar tidak menyakiti perasaan orang lain. Orang yang halus tutur katanya akan disenangi dalam pergaulan. Jadi, peribahasa tersebut mempunyai makna yang bersifat mengingatkan kita, yaitu hendaknya kita selalu berhati-hati dengan semua perbuatan kita.
Kasih ibu sepanjang jalan, kasih anak...
Kata jalan dan penggalah tersebut digunakan untuk membandingkan antara panjang dan pendek. Sepanjang jalan ini berarti panjang sekali, bahkan tidak terbatas. Karena kasih sayang ibu tidak terbatas, seorang ibu bersedia berkorban apa saja untuk anaknya. Sepanjang penggalah berarti panjangnya terbatas. Adanya cerita tentang anak yang menyia-nyiakan ibunya merupakan ibarat cinta yang sepenggalan. Hal itu berarti kasih sayang ibu terhadap anak tidak sama dengan kasih sayang anak terhadap ibu. Jadi, peribahasa itu mengingatkan kepada kita bahwa kasih sayang ibu terhadap anak tidak ada bandingannya.
Chairil Anwar (1922-1949)
|
|
Sutan Takdir Alisjahbana
|
|
Prof Dr Sapardi Djoko Damono
| | Prof Dr Sapardi Djoko DamonoSastrawan Puisi Lirik Indonesia Prof Dr Sapardi Djoko Damono dikenal sebagai salah seorang sastrawan yang memberi sumbangan besar kepada kebudayaan masyarakat modern di Indonesia. Salah satu sumbangan terbesar Guru Besar Fakultas Sastra UI ini adalah melanjutkan tradisi puisi lirik dan berupaya menghidupkan kembali sajak empat seuntai atau kwatrin yang sudah muncul di jaman para pujangga baru seperti Amir Hamzah dan Chairil Anwar.
Sebuah karya besar yang pernah ia buat adalah kumpulan sajak yang berjudul Perahu Kertas dan memperoleh penghargaan dari Dewan Kesenian Jakarta dan kumpulan sajak Sihir Hujan – yang ditulisnya ketika ia sedang sakit - memperoleh Anugerah Puisi Poetra Malaysia. Kabarnya, hadiah sastra berupa uang sejumlah Rp 6,3 juta saat memperoleh Anugerah Puisi Poetra Malaysia langsung dibelanjakannya memborong buku. Selain itu ia pernah memperoleh penghargaan SEA Write pada 1986 di Bangkok, Thailand.
Dengan kepekaan dan wawasan seorang sastrawan, Sapardi ikut mewarnai karya-karya terjemahannya seperti Puisi Brasilia Modern, Puisi Cina Klasik dan Puisi Parsi Klasik yang ditulis dalam bahasa Inggris. Selain itu dia juga menerjemahkan karya asing seperti karya Hemmingway The Old Man and the Sea, Daisy Manis (Henry James), semuanya pada 1970-an. Juga, sekitar 20 naskah drama seperti Syakuntala karya Kalidasa, Murder in Cathedral karya TS Elliot, dan Morning Become Electra trilogi karya Eugene O'neil. |
Sitor Situmorang
| | Sitor Situmorang'Kepala Suku' Sastrawan ‘45
Hadir bermodalkan tuksedo pinjaman dari Rosihan Anwar, saat itu nama wartawan muda berusia 23 tahun, Sitor, sangat begitu fenomenal bahkan menjadi buah bibir hingga ke tingkat dunia. Ia berhasil melakukan wawancara dengan Sultan Hamid, tokoh negara federal bentukan Negeri Belanda yang sekaligus menjadi ajudan Ratu Belanda.
Sultan Hamid adalah orang yang diplot menjadi tokoh federal, tentu dengan maksud untuk memecah-belah keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) menjadi terdiri berbagai negara boneka dalam wadah negara federal.
Esok harinya isi wawancara itu menjadi headline dan semua kantor berita asing mengutipnya. Peristiwa ini terjadi justru sebelum konferensi resmi dimulai, sehingga sudah ada gong awal yang memantapkan eksistensi NKRI. Ultah 80
Bahkan, beberapa hari sebelumnya, 27 September 2004 ia memperkenalkan karya-karya puisinya yang belum pernah dikenal orang. Apakah itu barupa puisi karya terbaru, atau puisi lama namun sama sekali belum pernah dikenal orang. Maklum, siklus kepenyairan Sitor Situmorang, yang menikah untuk yang kedua kalinya dengan seorang diplomat berkewarnegaraan Belanda Barbara Brouwer, yang memberinya satu orang anak, Leonard, sudah berbilang setengah abad lebih. Dari istri pertama almarhum Tiominar, dia mempunyai enam orang anak, yakni Retni, Ratna, Gulon, Iman, Logo, dan Rianti.
Dia begitu hafal setiap karya puisinya. Malah, beberapa orang sahabat sesama sastrawan, seperti almarhum Arifin C. Noor, W.S. Rendra, maupun sastrawan asal Madura Zawawi, menyapanya dengan melafalkan petikan puisi karya Sitor sebagai sapaan salam. Dari lafal petikan itu pula Sitor kenal siapa nama dan identitas orang yang menyapanya.
Karenanya ia dengan ringan menyebutkan, “Mungkin karena saya anti-Soeharto saja,” sebagai alasan kenapa ia harus mendekam di penjara Salemba selama delapan tahun berturut-turut. Hingga keluar tahanan Sitor tak pernah tahu apa kesalahannya.
Ia berhasil merilis dua karya sastra, yang berhasil ia gubah selama dalam tahanan, yakni Dinding Waktu (1976) dan Peta Perjalanan (1977). Kedua karya itu diluncurkan masih dalam status Sitor tidak bebas murni 100 persen sebab ketika kemudian dibebaskan, Sitor lagi-lagi harus menjalani tahanan rumah selama dua tahun.
“Kalau tidak menulis badan saya malah gemetaran. Bagi saya menulis adalah olahraga”, ujar pria Batak yang walau lama mengembara di luar negeri namun masih saja selalu kental dengan logat Bataknya. Kekentalan logat ini membuat banyak orang kecele, menilai Sitor sebagai seorang yang berkesan galak dan saklijk, tak ada kompromi.
Ia malah menyebut dirinya sudah seharusnya tampil sebagai “Kepala Suku”, jika saja konsep dan sistem tata nilai lama adat Batak itu diberlakukan kembali. Kalaupun istilah dan sebutan kepala suku adat Batak sudah lama dihapus, namun, dalam dunia sastra khususnya Angkatan ’45 Sitor Situmorang tak pelak lagi adalah “Kepala Suku” Sastrawan Angkatan ’45. Bukan hanya karena ia sastrawan Angkatan ’45 yang masih hidup, namun hasil karyanya ikut menunjukkan siapa jati diri dia yang sesungguhnya.
Kemudian, karya sastra esai yang mengetengahkan tinjauan sejarah dan antropologi, berjudul Bloem op een rots dan Oude Tijger (1990) yang sudah diterjemahkan dan dibukukan dalam bahasa Belanda, To Love, To Wonder (1996) diterjemahkan dalam bahasa Inggris, Paris Ia Nuit (2001) diterjemahkan dalam enam bahasa yakni Bahasa Perancis, Cina, Italia, Jerman, Jepang, dan Rusia.
Mereka, seperti Adjip Rosidi, Onghokham, Fuad Hasan, Djenar Maesa Ayu, Ramadhan KH, Richard Oh, Rieke Diah Pitaloka, Sitok Srengenge, HS. Dillon, Teguh Ostenrijk, Srihadi Soedarsono, dan Antonio Soriente, tetap menyambut hangat kepulangan Sitor Situmorang. Mereka, menganggap tak beda seperti menemukan teman yang sudah lama tak berjumpa. |
Kho Ping Hoo (1926-1994)
Legenda Cerita Silat
Dia legenda pengarang cerita silat. Kho Ping Hoo, lelaki peranakan Cina kelahiran Sragen, Jawa Tengah, 17 Agustus 1926, yang kendati tak bisa membaca aksara Cina tapi imajinasi dan bakat menulisnya luar biasa. Selama 30 tahun lebih berkarya, dia telah menulis sekitar 400 judul serial berlatar Cina, dan 50 judul serial berlatar Jawa.
Ceritanya asli dan khas. Dia pengarang yang memiliki ide-ide besar, yang tertuang dalam napas ceritanya yang panjang. Sepertinya dia tak pernah kehabisan bahan.
Bahkan setelah dia meninggal dunia akibat serangan jantung pada 22 Juli 1994 dan dimakamkan di Solo, namanya tetap melegenda. Karya-karyanya masih dinikmati oleh banyak kalangan penggemarnya. Bahkan tak jarang penggemarnya tak bosan membaca ulang karya-karyanya.
Beberapa karyanya dirilis ulang media massa, difilmkan, disandiwararadiokan, dan di-online-kan, serta disinetronkan. Dia meninggalkan nama yang melegenda. Legenda Kho Ping Hoo, pernah menjadi sinetron andalan SCTV. Lewat penerbit CV Gema, karya-karyanya masih terus dicetak.
Kho Ping Hoo bernama lengkap Asmaraman Sukowati Kho Ping Hoo, pengarang cerita silat yang memunculkan tokoh-tokoh silat dalam ceritanya, seperti Lu Kwan Cu, Kam Bu Song, Suma Han, Kao Kok Cu, atau Wan Tek Hoat dan Putri Syanti Dewi, Cia Keng Hong, Cia Sin Liong, Ceng Thian Sin, dan Tang Hay. Serta tokoh-tokoh dalam serial paling legendaris Bu Kek Siansu dan Pedang Kayu Harum.
Dia juga banyak mengajarkan filosofi tentang kehidupan, yang memang disisipkan dalam setiap karyanya. Salah satu tentang yang benar adalah benar, dan yang salah tetap salah, meski yang melakukannya kerabat sendiri.
Kisah Keluarga Pulau Es merupakan serial terpanjang dari seluruh karya Kho Ping Hoo. Kisahnya sampai 17 judul, dimulai dari Bu Kek Siansu sampai Pusaka Pulau Es.
Penggemar cerita silat Kho Ping Hoo sangat banyak yang setia. Mereka sudah gemar membaca karya Kho Ping Hoo sejak usia 10-an tahun hingga usia di atas 50-an tahun. Mula-mula mereka senang melihat gambar komiknya. Namun, lama-lama makin tertarik cerita tulisannya. Tak jarang penggemar mengoleksi karya-karya Kho Ping Hoo, bahkan mencarinya ke bursa buku bekas di kawasan Senen.
Kho Ping Hoo, lelaki peranakan Cina kelahiran Sragen, Jawa Tengah, 17 Agustus 1926, berasal dari keluarga miskin. Dia hanya dapat menyelesaikan pendidikan kelas 1 Hollandsche Inlandsche School (HIS). Namun, ia seorang otodidak yang amat gemar membaca sebagai awal kemahirannya menulis.
Ia mulai menulis tahun 1952. Tahun 1958, cerita pendeknya dimuat oleh majalah Star Weekly. Inilah karya pertamanya yang dimuat majalah terkenal ketika itu. Sejak itu, semangatnya makin membara untuk mengembangkan bakat menulisnya.
Banyaknya cerpenis yang sudah mapan, mendorongnya memilih peluang yang lebih terbuka dalam jalur cerita silat. Apalagi, silat bukanlah hal yang asing baginya. Sejak kecil, ayahnya telah mengajarkan seni beladiri itu kepadanya. Sehingga dia terbilang sangat mahir dalam gerak dan pencak, juga makna filosofi dari tiap gerakan silat itu.
Karya cerira silat pertamanya adalah Pedang Pusaka Naga Putih, dimuat secara bersambung di majalah Teratai. Majalah itu ia dirikan bersama beberapa pengarang lainnya. Saat itu, selain menulis, ia masih bekerja sebagai juru tulis dan kerja serabutan lainnya, untuk bisa memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
Namun, setelah cerbung silatnya menjadi populer, ia pun meninggalkan pekerjaanya sebagai juru tulis dan kerja serabutan itu, dan fokus menulis. Hebatnya, ia menerbitkan sendiri cerita silatnya dalam bentuk serial buku saku, yang ternyata sangat laris.
Hal itu membuat kreatifitasnya makin terpicu. Karya-karyanya pun mengalir deras. Cerita silatnya pun makin bervariasi. Tak hanya cerita berlatar Cina, tetapi juga cerita berlatar Jawa, di masa majapahit atau sesudahnya. Bahkan, selain secara gemilang memasukkan makna-makna filosofis, dia pun menanamkan ideologi nasionalisme dalam cerita silatnya.
Seperti kisah dalam cerita Sepetak Tanah Sejengkal Darah. Dia menyajikan cerita yang sangat membumi, akrab dengan keseharian. Juga melintasi batas agama, suku dan ras.
Kepopulerannya makin memuncak manakala merilis serial silat terpanjangnya Kisah Keluarga Pulau Es, yang mencapai 17 judul cerita, dengan ukuran panjang antara 18 sampai 62 jilid. Dimulai dari kisah Bu Kek Siansu sampai Pusaka Pulau Es.
Karya serial berlatar Jawa, yang juga terbilang melegenda antara lain Perawan Lembah Wilis, Darah Mengalir di Borobudur, dan Badai Laut Selatan. Bahkan Darah Mengalir di Borobudur, pernah disandiwararadiokan. ►e-ti/tian son lang, dari berbagai sumber
Emha Ainun Nadjib
|
|
Ditepuk air di dulang, tepercik muka sendiri
Dulang ialah talam (baki) dari kayu atau tembaga. Air di dulang diumpamakan anggota keluarga. Ditepuk diumpamakan sebagai aib keluarga yang diceritakan kepada orang lain. Jika ada air di dulang, kemudian air itu ditepuk, air itu dapat mengenai (memerciki) muka orang yang menepuk air itu. Jadi, peribahasa itu mempunyai arti orang yang menceritakan aib keluarganya sendiri yang membuat malu diri sendiri.
Lafal Bahasa Indonesia Baku
Pusat Bahasa
Sebagai bahasa yang hidup, bahasa Indonesia telah dan akan terus mengalami perubahan sejalan dengan perkembangan masyarakat pemakainya. Luasnya wilayah pemakaian bahasa Indonesia dan keanekaragaman penuturnya serta cepatnya perkembangan masyarakat telah mendorong berkembangnya berbagai ragam bahasa Indonesia dewasa ini. Kenyataan bahwa bahasa Indonesia digunakan oleh kelompok-kelompok masyarakat penutur yang berbeda latar belakangnya baik dari segi geografis maupun dari segi sosial menyebabkan munculnya berbagai ragam kedaerahan (ragam regional) dan sejumlah ragam sosial.
Salah satu jenis ragam sosial yang bertalian dengan pokok bahasan makalah ini adalah ragam bahasa Indonesia yang lazim digunakan oleh kelompok yang menganggap dirinya terpelajar. Ragam ini diperoleh melalui pendidikan formal di sekolah. Karena itu, ragam ini lazim juga disebut ragam bahasa (Indonesia) sekolah. Ragam ini juga disebut ragam (bahasa) tinggi. Dalam kaitan ini patut dicatat bahwa bahasa Melayu yang diikrarkan sebagai bahasa Indonesia pada tanggal 28 Oktober 1928 tentulah ragam bahasa Melayu Tinggi pada waktu itu. Ragam bahasa kaum terpelajar itu biasanya dianggap sebagai tolok untuk pemakaian bahasa yang benar. Oleh karena itulah maka ragam bahasa sekolah itu disebut juga (ragam) bahasa baku (lihat Alwi et al. 1993). Mengingat ragam bahasa baku itu digunakan untuk keperluan berbagai bidang kehidupan yang penting, seperti penyelenggaraan negara dan pemerintahan, penyusunan undang-undang, persidangan di pengadilan, persidangan di DPR dan MPR, penyiaran berita melalui media elektronik dan media cetak, pidato di depan umum, dan, tentu saja, penyelenggaraan pendidikan, maka ragam bahasa baku cenderung dikaitkan dengan situasi pemakaian yang resmi. Dengan kata lain, penggunaan ragam baku menuntut penggunaan gaya bahasa yang formal.
Dalam hubungan dengan gaya itu, perlu dicatat perbedaan ragam bahasa lisan dan ragam bahasa tulisan. Dari segi gaya, ragam bahasa tulisan cenderung kata-katanya lebih terpilih dan kalimat-kalimatnya lebih panjang-panjang, tetapi lebih tertata rapi. Dengan kata lain, persoalan lafal yang menjadi persoalan pokok makalah ini tidak berkaitan langsung dengan perbedaan ragam bahasa Indonesia lisan dan ragam bahasa Indonesia tulisan. Lafal bahasa Indonesia yang dipersoalkan dalam makalah ini adalah lafal (baku) yang dianggap baik untuk digunakan ketika berbahasa Indonesia baku dengan memakai bunyi sebagai sarananya baik dengan cara berbicara maupun dengan cara membaca.
Atas dasar uraian singkat di atas pembicaraan dalam makalah ini akan meliputi pokok-pokok
(1) ciri-ciri lafal baku bahasa Indonesia
(2) fungsi lafal baku bahasa Indonesia
(3) faktor penunjang dan penghambat pertumbuhan lafal baku
(4) upaya pembakuan lafal bahasa Indonesia
1. Ciri-Ciri Lafal Baku Bahasa Indonesia
Di atas telah disinggung bahwa bahasa baku baik ragam lisan maupun tulisan selalu dikaitkan dengan bahasa sekolah yang juga disebut ragam tinggi. Ragam bahasa tinggi ini lazim digunakan oleh mereka yang menganggap dirinya terpelajar. Salah satu ciri yang menonjol bahasa kaum terpelajar ini, yang menyangkut lafal, adalah bahwa sistem bunyinya lebih kompleks dibandingkan dengan sistem bunyi yang dimiliki kaum tak-terpelajar. Bahasa kaum terpelajar cenderung mempunyai khasanah bunyi yang lebih banyak. Karena itu, kaum terpelajar cenderung membedakan kata seni dari zeni, kata pak dari vak, kata sarat dari syarat, kata kas dari khas, dan kata teras (rumah) dari teras (dalam arti inti) sedangkan kaum tidak terpelajar cenderung tidak membedakan pasangan-pasangan kata itu dalam berbicara.
Bahasa kaum terpelajar juga cenderung mempunyai kaidah fonotaktis yang lebih rumit. Kaum terpelajar akan mengacu kumpulan bangunan sejenis di suatu tempat sebagai kompleks, aksi-aksi mahasiswa yang menuntut reformasi sebagai demonstrasi, dan olahraga konglomerat yang dilakukan di padang-padang bekas kebun teh dan sawah rakyat sebagai golf, sementara kelompok tidak terpelajar cenderung akan mengacunya masing-masing sebagai komplek, demonstrasi, dan golop, paling tidak, dalam berbahasa lisan.
Selain khasanah bunyi yang lebih banyak dan kaidah fonotaktis yang menyatakan kombinasi-kombinasi bunyi yang lebih kompleks, bahasa kaum terpelajar cenderung juga berbeda dari bahasa kaum tak-terpelajar dalam hal kaidah pemberian tekanan pada kata. Bahasa kaum terpelajar cenderung memperlihatkan kaidah tekanan yang lebih teratur dan lebih berdasar daripada bahasa kaum tak-terpelajar. Perbedaan lafal akibat perbedaan kaidah penempatan tekanan antara kedua kelompok penutur bahasa Indonesia itu akan lebih tajam bila kata-kata itu berada dalam untaian kalimat. Bandingkan kolom A dan B berikut (suku kata yang mendapat tekanan dinyatakan dengan kapital).
A B 1 memBAca memBAca membaCAkan memBAcakan membacaKANnya memBAcakannya; membaCAkannya 2 terBANG TERbang menerBANGkan meNERbangkan menerbangKANnya meNERbangkannya; menerBANGkannya
Pada contoh di atas tampak bahwa kaum terpelajar secara taat asas menempatkan tekanan pada suku kata kedua dari akhir (Kolom A) kecuali bila suku kata kedua itu mengandung vokal e pepet (/ /), sedangkan kelompok tak-terpelajar cenderung menempatkan tekanan pada bentuk dasar pada suku yang tetap atau pada suku ketiga dari akhir (Kolom B), tanpa memperdulikan apakah suku tersebut mengandung e pepet atau tidak.
Pada umumnya aspek-aspek bunyi dan tekanan yang memperbedakan ragam bahasa baku (ragam bahasa kaum terpelajar) dengan ragam bahasa tak-baku (ragam bahasa kaum tak-terpelajar) bersumber pada perbedaan sistem bunyi bahasa Indonesia dengan bahasa ibu para penutur yang cenderung menghasilkan ragam regional bahasa Indonesia yang lazim disebut logat atau aksen. Sejalan dengan itu, Abercrombie (1956) menulis bahwa ragam bahasa baku adalah ragam bahasa yang paling sedikit memperlihatkan ciri kedaerahan. Hubungan antara ragam kedaerahan dengan ragam baku, termasuk lafalnya, digambarkan oleh Trudgill (1975) seperti berikut.
Gambar itu memperlihatkan bahwa ragam baku (termasuk lafal baku) termasuk ragam sosial yang tinggi. Makin tinggi pendidikan seseorang cenderung akan meningkatkan status sosial seseorang--termasuk meningkatkan mutu bahasanya. Khasanah bunyi beserta kaidah-kaidah yang mengatur distribusi bunyi-bunyi itu, termasuk kombinasi-kombinasi bunyi dalam kata yang diperbolehkan oleh kaidah fonotaktik, dan kaidah penempatan tekanan pada kata-kata bahasa Indonesia ragam baku dapat dilihat di dalam Alwi et al. (1998).
2. Fungsi Lafal Baku Bahasa Indonesia
Lafal merupakan perwujudan kata-kata dalam bentuk untaian-untaian bunyi. Lafal merupakan aspek utama penggunaan bahasa secara lisan. Dalam hubungan itu, lafal baku dapat dipandang sebagai perwujudan ragam bahasa baku dalam bentuk untaian bunyi ketika berlangsung komunikasi verbal secara lisan yang menuntut penggunaan ragam baku. Persoalannya adalah peristiwa komunikasi lisan apa saja yang menuntut penggunaan ragam baku. Kridalaksana (1975) mencatat empat fungsi bahasa yang menuntut penggunaan ragam baku, yaitu (1) komunikasi resmi, (2) wacana teknis, (3) pembicaraan di depan umum, dan (4) pembicaraan dengan orang yang dihormati. Dari empat fungsi bahasa yang menuntut ragam baku itu, hanya dua yang terakhir yang langsung berkaitan dengan komunikasi verbal secara lisan. Dengan kata lain, lafal baku perlu digunakan dalam pembicaraan di depan umum, seperti kuliah, ceramah, khotbah, pidato, dsb. atau dalam pembicaraan dengan orang yang dihormati seperti pembicaraan dengan atasan, dengan guru, dengan orang yang baru dikenal dsb.
Di atas telah kita lihat bahwa ragam bahasa baku dianggap sebagai ragam bahasa yang baik yang cocok untuk keperluan komunikasi verbal yang penting, yang menjadi tolok untuk pemakaian bahasa yang benar, dan yang bergengsi serta berwibawa. Dalam hubungan dengan fungsi sosial bahasa baku itu, Moeliono (1975) mencatat empat fungsi pokok, yaitu
(1) fungsi pemersatu,
(2) fungsi penanda kepribadian,
(3) fungsi penanda wibawa, dan
(4) fungsi sebagai kerangka acuan.
Dengan demikian, lafal baku--sebagai perwujudan bahasa baku secara fonetis--mempunyai fungsi sosial sebagai
(1) pemersatu,
(2) penanda kepribadian,
(3) penanda wibawa, dan
(4) sebagai kerangka acuan.
Pengikraran bahasa Melayu (tinggi) sebagai bahasa Indonesia 70 tahun lalu merupakan peristiwa bersejarah yang sangat penting dalam proses perkembangan bangsa Indonesia yang bersatu. Sulit untuk dibayangkan apa yang akan terjadi dengan bangsa Indonesia yang terdiri atas ratusan suku bangsa dengan latar belakang kebahasaan yang ratusan pula dan menyebar di kepulauan Nusantara yang luas ini jika tidak ada satu bahasa sebagai alat komunikasi antara satu dengan lain. Kehadiran suatu lafal baku yang perlu digunakan sebagai tolok dalam berbahasa lisan pada peristiwa-peristiwa tutur resmi yang melibatkan pendengar dari berbagai kelompok suku tentulah merupakan suatu keharusan.
Fungsi kepribadian lafal baku akan tampak bila kita terlibat dalam pergaulan antarbangsa. Melalui bahasa lisan seseorang, kita dapat mengenal apakah dia menggunakan logat asing ataukah logat baku. Orang asing yang belajar bahasa Indonesia dapat saja mencapai penguasaan bahasa Indonesia yang sangat baik namun itu biasanya terbatas pada bahasa tulisan. Atau, kemungkinan lain, dapat saja kita terlibat dalam percakapan dengan bangsa serumpun, misalnya dengan orang Malaysia atau Brunei Darussalam. Dari segi perawakan tentu sulit untuk membedakan satu sama lain, tetapi melalui logat/dialek yang digunakan kita dapat mengenal apakah seseorang termasuk bangsa Indonesia atau tidak.
Fungsi penanda wibawa lafal baku merupakan suatu fungsi yang mempunyai nilai sosial yang tinggi dalam suatu masyarakat. Kemampuan seseorang dalam menggunakan lafal baku cenderung akan ditafsirkan bahwa orang itu adalah orang terpelajar dan karena itu patut disegani. Kewibawaan lafal baku tampak jelas dalam pergaulan sehari-hari. Dalam senda gurau tidak pernah kita mendengar lafal baku dijadikan bahan olok-olok. Pada umumnya yang kita dengar adalah logat (lafal) yang bersifat kedaerahan.
Fungsi lafal baku sebagai kerangka acuan berarti bahwa lafal baku dengan perangkat kaidahnya menjadi ukuran atau patokan dalam berbahasa Indonesia secara lisan pada situasi-situasi komunikasi yang resmi.
3. Faktor Penunjang dan Penghambat Pertumbuhan Lafal Baku
Dengan faktor pendukung pertumbuhan lafal baku di sini dimaksudkan semua faktor yang dianggap memberikan dampak positif terhadap kehadiran lafal baku bahasa Indonesia. Sebaliknya, faktor penghambat pertumbuhan lafal baku adalah semua faktor yang dianggap memberikan dampak negatif terhadap pertumbuhan/kehadiran lafal baku bahasa Indonesia. Oleh karena itu, pembicaraan pada seksi ini akan mencoba mengidentifikasi beberapa isu atau masalah yang bertalian dengan lafal baku kemudian melihat apa segi positifnya dan apa segi negatifnya. Masalah yang bertalian dengan lafal baku yang akan disorot dalam hubungan ini meliputi
(1) isu persatuan dan kesatuan,
(2) isu pendidikan,
(3) isu kesempatan kerja,
(4) isu keunggulan bahasa baku, dan
(5) isu demokrasi dalam bahasa.
a. Isu Persatuan dan Kesatuan
Kondisi Indonesia sebagai negara kepulauan yang dihuni oleh ratusan suku bangsa dengan bahasa yang berbeda-beda jelas merupakan tantangan berat dalam rangka mempersatukan bangsa Indonesia ini. Adanya satu bahasa sebagai alat untuk mempersatukan bangsa Indonesia yang bhineka itu merupakan suatu keharusan. Hal ini disadari benar oleh para pemuda yang hadir dalam Kongres Pemuda II yang melahirkan Sumpah Pemuda pada tanggal 28 Oktober 1928. Melalui Sumpah Pemuda tersebut, bahasa Melayu diikrarkan sebagai bahasa persatuan dengan nama bahasa Indonesia. Walaupun tidak ada catatan yang menyebutkan secara eksplisit ragam bahasa Melayu mana yang dinobatkan sebagai bahasa Indonesia itu, dapat dipastikan bahwa bukan ragam bahasa Melayu pasar. Ragam bahasa Melayu yang dinobatkan sebagai bahasa persatuan melalui Sumpah Pemuda itu tentulah ragam bahasa Melayu Tinggi karena ragam inilah yang diajarkan di sekolah-sekolah, terutama sekolah-sekolah kebangsaan. Bersamaan dengan pengikraran ragam bahasa Melayu Tinggi sebagai bahasa Indonesia, Sumpah Pemuda itu juga secara serta-merta menobatkan lafal bahasa Melayu Tinggi sebagai lafal baku.
Fungsi bahasa Indonesia baku, termasuk lafalnya, sebagai alat pemersatu bangsa secara umum dapat dikatakan telah berjalan dengan baik. Hampir sebagian besar bangsa Indonesia telah dapat mengerti bahasa Indonesia. Namun, di sisi lain penetapan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan telah pula mengakibatkan sebagian masyarakat yang belum menguasai atau dianggap belum mahir berbahasa Indonesia secara tidak sadar telah menciptakan pengotak-ngotakan masyarakat bangsa ini atas yang mahir berbahasa Indonesia dan yang tidak mahir berbahasa Indonesia. Upaya untuk mengendalikan pertumbuhan bahasa melalui perencanaan bahasa sesungguhnya merupakan upaya perencanaan perbedaan antara yang mahir dan yang kurang mahir berbahasa Indonesia termasuk lafalnya.
b. Isu Pendidikan
Salah satu alasan yang sering dikemukakan dalam hubungan dengan upaya penetapan suatu ragam bahasa baku adalah pendidikan. Penyelenggaraan pendidikan di sekolah tentulah menuntut adanya bahasa pengantar yang dikuasai oleh guru dan murid. Pengembangan bahan-bahan ajar tentulah memerlukan satu bahasa demi penghematan. Adalah tidak ekonomis untuk menyediakan buku yang berbeda-beda dari segi bahasa bagi kelompok-kelompok yang berbeda bahasa seperti Indonesia. Ini tidak hanya mahal dari segi finansial tetapi juga mahal dari segi ketenagaan. Dalam hubungan dengan penyelenggaraan pendidikan ini, peranan lafal baku sangat penting karena ragam bahasa yang digunakan sebagian besar adalah ragam lisan. Kegagalan seseorang menguasai lafal baku cenderung akan berakibat kegagalan dalam mencapai manfaat pendidikan di sekolah yang optimal.
Isu pendidikan berkenaan dengan lafal baku itu baru akan menjadi persoalan bila sekolah memang menuntut penggunaan lafal baku. Murid yang tidak mahir menggunakan lafal baku cenderung akan dinilai "kurang berhasil" dalam mengikuti pendidikan. Kekurangberhasilan murid itu akan tampak menonjol dalam hal-hal yang menuntut penggunaan bahasa lisan seperti bercakap-cakap, menjawab pertanyaan secara lisan, menerangkan sesuatu, dan membaca bersuara.
c. Isu Kesempatan Kerja
Alasan lain yang biasa dikemukakan dalam usaha penetapan suatu bahasa baku termasuk lafal baku bertalian dengan kesempatan kerja. Prof. Emil Salim (1983) melaporkan bahwa hasil Sensus 1980 menunjukkan adanya hubungan positif antara penguasaan bahasa Indonesia dengan kesempatan kerja. Pendapatan per kapita rata-rata (GNP) yang menguasai bahasa Indonesia lebih tinggi daripada GNP kelompok masyarakat yang kurang menguasai bahasa Indonesia. Rendahnya GNP kelompok yang kurang menguasai bahasa Indonesia itu pastilah tidak berkaitan langsung dengan kemampuan intelektual atau keterampilan mereka. Kemungkinan besar perbedaan GNP itu lebih banyak ditentukan oleh kesan pertama yang didapatkan oleh para penyaring calon pekerja melalui lamaran tertulis dan atau wawancara dengan pencari kerja tersebut. Ketidaklancaran komunikasi antara calon pekerja dengan penyaring calon pekerja cenderung ditafsirkan sebagai ketidakmampuan tenaga pencari kerja tersebut untuk melaksanakan beban kerja lowongan yang ada.
Di sini lagi-lagi isu bahasa baku, termasuk lafal baku, dapat menjadi masalah jika ragam bahasa baku itu dijadikan sebagai suatu prasyarat untuk bisa diterima sebagai tenaga kerja dalam suatu lembaga atau perusahaan. Buruh-buruh di suatu pabrik atau perkebunan serta pesuruh, tukang kebun, dan tenaga administrasi rendahan di kantor-kantor tidak perlu dipersyaratkan menguasai bahasa Indonesia baku secara lisan dan tertulis sama baik dengan mandor atau kepala bagian di kantor-kantor.
d. Isu Keunggulan Bahasa Baku
Di atas telah disinggung bahwa ragam bahasa baku cenderung dinilai sebagai bahasa yang bergengsi yang lebih baik daripada ragam lain atau ragam kedaerahan. Sentimen sosial yang melekat pada ragam baku itu cenderung ditafsirkan bahwa ragam bahasa baku lebih unggul daripada ragam kedaerahan dalam hal daya ungkapnya. Ragam bahasa baku (ragam tinggi) dianggap mampu mengungkapkan berbagai konsep ilmu pengetahuan dan teknologi modern, sedangkan ragam kedaerahan tidak.
Dalam hal-hal tertentu anggapan itu memang benar, tetapi itu terjadi karena ragam baku memang sengaja dikembangkan secara khusus untuk keperluan itu, terutama dalam hal peristilahannya. Secara teoretis, ragam apa pun yang digunakan asal tersedia perangkat istilah untuk bidang-bidang yang dipercakapkan tentulah bisa. Para ahli ilmu bahasa sudah sejak lama menerima pandangan bahwa semua bahasa di dunia ini sama baiknya. Apa yang bisa diungkapkan dalam satu bahasa pastilah dapat diungkapkan dalam bahasa lain walaupun dengan cara yang lebih panjang. Dalam kaitan ini, pandangan bahwa ragam bahasa baku lebih unggul dari ragam kedaerahan terletak pada kehematan dalam pengungkapan saja.
e. Isu Demokrasi dalam Bahasa
Penilaian ragam bahasa baku sebagai ragam yang berwibawa dan bergengsi dengan segala konotasinya telah menjadi salah satu alasan mengapa perlu ada ragam baku dan bahwa setiap warga negara perlu diberi kesempatan yang sama untuk mempelajari dan menguasai ragam bahasa baku, termasuk lafal baku itu.
Dalam negara seperti Indonesia yang warganya terdiri atas ratusan kelompok etnis dengan bahasa daerah yang beratus pula tentulah keinginan untuk memberi kesempatan yang sama untuk menguasai bahasa Indonesia (baku) merupakan suatu keharusan. Masalah yang timbul berkaitan dengan isu demokrasi dalam bahasa ini adalah bahwa tidak jarang murid mendapat hambatan dalam menggapai kemajuan dalam pendidikannya akibat ragam bahasa Indonesia baku yang belum dikuasainya dengan baik. Acapkali dapat terjadi seseorang menjadi segan, dan mungkin berkembang menjadi benci, berbicara karena dikritik atau diperolok-olokkan baik oleh guru maupun oleh teman-temannya. Apabila tekanan-tekanan psikologis seperti itu dialami oleh murid, maka dapat dipastikan bahwa dia tidak akan mencapai hasil yang memuaskan di dalam pendidikannya. Untuk menghindari tekanan-tekanan psikologis yang bisa diakibatkan ketidakmampuan menguasai ragam bahasa baku itu, maka murid dapat pula menuntut hak bahasa lainnya, yaitu untuk belajar di dalam dialeknya sendiri sebagaimana disuarakan oleh UNESCO belakangan ini walaupun konsekuensinya jauh lebih tidak menguntungkan dilihat dari kepentingan bangsa.
4. Upaya Pembakuan Lafal Bahasa Indonesia
Adanya ragam baku, termasuk lafal baku, untuk bahasa Indonesia merupakan tuntutan Sumpah Pemuda dan UUD 1945. Pengikraran bahasa Melayu sebagai bahasa persatuan dengan nama bahasa Indonesia menuntut setiap orang Indonesia untuk bisa berkomunikasi satu sama lain baik secara lisan maupun secara tertulis dalam bahasa persatuan. Penetapan bahasa Indonesia sebagai bahasa negara berarti bahwa segala bentuk kegiatan dalam penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara dilakukan dalam bahasa Indonesia. Semua kegiatan komunikasi verbal dalam bahasa Indonesia itu, secara lisan atau secara tertulis, hanya akan mencapai hasil yang baik jika ada semacam rujukan yang dimiliki bersama--dalam hal ini ragam baku bahasa Indonesia. Untuk keperluan berbahasa lisan tentu saja dibutuhkan lafal baku. Upaya pembakuan lafal bahasa Indonesia pada dasarnya dapat dilaksanakan dengan dua jalur
(1) jalur sekolah dan
(2) jalur luar sekolah.
a. Pembakuan Lafal melalui Jalur Sekolah
Upaya pembakuan lafal bahasa Indonesia sebenarnya telah dimulai jauh sebelum bahasa Indonesia diikrarkan sebagai bahasa persatuan 70 tahun lalu. Upaya pembakuan itu dimulai di sekolah-sekolah yang mengajarkan atau memakai bahasa Melayu. Kehadiran Ejaan van Ophuijsen tahun 1901 telah meletakkan dasar yang kokoh bagi pertumbuhan lafal bahasa Melayu Tinggi yang kemudian dinobatkan sebagai bahasa Indonesia oleh Kongres Pemuda II tanggal 28 Oktober 1928. Melalui tulisan yang diajarkan di sekolah-sekolah, murid-murid mulai membentuk lafal baku. Melalui tulisan yang mereka pelajari, mereka belajar mengucapkan kata-kata tertulis seperti ada, apa, dan mana, sebagaimana dituliskan dan bukan sebagai [ad ], [ap ], dan [man ] seperti kita dengar dalam bahasa Melayu Riau hingga dewasa ini.
Pembakuan lafal melalui sekolah pada umumnya dilakukan secara pasif. Guru tidak secara khusus melatih para murid untuk menggunakan lafal baku. Murid belajar lafal baku melalui apa yang didengarnya dari guru dan, pada tahap tertentu, dari sesama murid. Melalui pelajaran baca-tulis, murid dapat mengetahui nilai (fonetis) untaian huruf yang digunakan untuk menuliskan kata-kata Indonesia. Peranan guru dalam upaya pembinaan lafal bahasa baku sangatlah besar. Untuk dapat melaksanakan upaya pembinaan lafal baku itu guru hendaklah mempersiapkan diri sebaik mungkin dengan memperhatikan hal-hal berikut.
(1) Guru haruslah menyadari bahwa lafalnya merupakan model atau kerangka acuan bagi murid-muridnya. Karena itu, hendaklah guru mempersiapkan diri sebaik-baiknya. Pengetahuan fonologi akan banyak membantu tugasnya.
(2) Guru perlu mengetahui aspek-aspek fonologi yang khas di daerah tempatnya mengajar agar dapat mengetahui bunyi-bunyi yang sukar bagi murid-muridnya. Di daerah Tapanuli dan sebagian besar Indonesia bagian timur, vokal / / cenderung diganti dengan /e/. Di Aceh, Jawa, dan Bali bunyi /t/ cenderung diganti dengan bunyi retrofleks /t/.
(3) Guru hendaklah menyadari bahwa (ragam) bahasa menjadi lambang kelompok sosial. Karena itu guru perlu menghargai logat murid-muridnya. Apabila murid merasa direndahkan karena ketidak-mampuannya berbahasa Indonesia dengan lafal baku sebagai akibat pengaruh logat/bahasa ibunya, maka ia cenderung menolak apa saja yang berbau lafal bahasa Indonesia baku.
b. Pembakuan Lafal melalui Jalur Luar Sekolah
Di atas telah disinggung bahwa lafal baku sebagai perwujudan ragam bahasa baku mempunyai nilai sosial yang tinggi. Oleh karena itu, di banyak tempat di dunia itu acapkali ragam bahasa para penutur dari kalangan kelas sosial atas sering dijadikan acuan atau model. Hal ini terlihat jelas di Indonesia. Ketika presiden sering terdengar mengucapkan -kan sebagai [k n] maka banyak orang yang latah ikut-ikutan mengucapkan [-k n] walaupun mereka bukan dari suku Jawa. Untuk bisa memberikan model lafal yang baik kepada masyarakat perlu diperhatikan hal-hal berikut.
(1) Setiap pemimpin dan tokoh masyarakat yang biasa dalam tugasnya berhadapan langsung dengan rakyat perlu berusaha menggunakan lafal baku.
(2) Para penyiar radio dan televisi hendaklah memberikan model yang baik bagi para pendengar khususnya dalam pembicaraan yang bersifat resmi, seperti pembacaan berita atau wawancara resmi dengan tokoh-tokoh masyarakat. Peranan televisi dan radio itu sangat besar dalam pembentukan lafal bahasa Indonesia yang ada dewasa ini.
5. Penutup
Pada seksi 3 di atas telah disinggung sejumlah aspek positif dan aspek negatif kehadiran ragam baku, termasuk lafal baku. Perdebatan itu mungkin hanya relevan bagi masyarakat yang monolingual atau paling tidak jumlah bahasanya sedikit. Bagi Indonesia yang penduduknya menggunakan ratusan bahasa daerah dan tersebar di ribuan kepulauan, kehadiran suatu bahasa baku, termasuk lafal baku bukan hanya perlu tetapi suatu keharusan. Upaya untuk menentang pembakuan bahasa Indonesia sama artinya mengkhianati Sumpah Pemuda yang telah mengikrarkan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan. Persatuan yang kuat hanya bisa tercipta kalau ada bahasa yang digunakan bersama dengan pemahaman yang sama. Meskipun begitu, upaya pembakuan lafal hendaklah dilakukan secara hati-hati karena lafal lebih peka terhadap sentimen sosial. Upaya pembakuan lafal selama ini dapat dipertahankan. Yang perlu ditingkatkan adalah kesadaran kita sebagai pemodel lafal.
Daftar Pustaka
Abercrombie, David. 1956. Problems and Principles Studies in the Teaching of English as a Second Language. London: Longman.Alwi, Hasan, Soenjono Dardjowidjojo, Hans Lapoliwa, Anton M. Moeliono. 1998. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia (edisi ketiga). Jakarta: Balai Pustaka.
Kridalaksana, Harimurti. 1975. "Tata Cara Standardisasi dan Pengembangan Bahasa Nasional" dalam Pengajaran Bahasa dan Sastra. No. 3 pp 7--14.
Moeliono, Anton M. 1975. "Ciri-Ciri Bahasa Indonesia yang Baku" dalam Pengajaran Bahasa dan Sastra. No. 3. pp. 2--6.
Salim, Emil. 1983. "Membangun Bahasa Pembangunan". Makalah pada Kongres Bahasa Indonesia IV.
Tollefson, James W. 1991. Planning Language, Planning Inequality. London: Longman.
Trudgill, Peter. 1975. Accent Dialect and The School. London: Edwar Arnold Ltd.