Nugroho Notosusanto Nugroho Notosusanto lahir di Rembang, Jawa Tengah pada tanggal 15 Juli 1930. Ayah Nogroho bernama R.P. Notosusanto yang mempunyai kedudukan terhormat, yaitu seorang ahli hukum Islam, Fakultas Hukum, Universitas Gadjah Mada, dan seorang pendiri UGM. Kakak Nugroho pensiunan Patih Rembang dan kakak tertua ayah Nugroho adalah pensiunan Bupati Rembang. Pangkat patih, apalagi bupati sangat sulit dicapai rakyat pribumi pada waktu itu di daerah pesisiran Rembang. Nugroho adalah anak pertama dari tiga bersaudara. Ketika Nugroho sedang giat-giatnya dalam gerakan mahasiswa, ia berkenalan dengan Irma Sawitri Ramelan (Lilik). Perkenalan itu kemudian diteruskan ke jenjang perkawinan pada tangal 12 Desember 1960, di Hotel Indonesia. Istri Nugroho adalah keponakan istri Menteri Ristek Prof. Dr. B.J. Habibie. Dari perkawinan itu mereka dikaruniai tiga orang anak, yang pertama bernama Indrya Smita sudah tamat FIS UI, yang kedua Inggita Sukma, dan yang ketiga Norottama. Nugroho meninggal dunia hari Senin, 3 Juni 1985 pukul 12.30, di rumah kediamannya karena serangan pendarahan otak akibat tekanan darah tinggi. Ia adalah menteri keempat di Departemen Pendidikan dan Kebudayaan pada masa Orde Baru yang meninggal dunia dalam masa tugasnya. Ia meninggal dunia tepat pada bulan yang mulia bagi umat Islam, yaitu pada bulan Ramadan dan di kebumikan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta. Pendidikan yang pernah diperoleh Nugroho adalah Europese Legere School (ELS) tamat 1944, kemudian menyelesaikan SMP di Pati Tahun 1951 tamat SMA di Yogyakarta. Setamat SMA ia masuk Fakultas Sastra, Jurusan Sejarah, Universitas Indonesia, dan tamat tahun 1960. Tahun 1962 ia memperdalam pengetahuan di bidang Sejarah dan Filsafat di University of London. Ketika tamat SMA, sebagai seorang prajurit muda ia dihadapkan pada dua pilihan, yaitu meneruskan karier militer dengan mengikuti pendidikan perwira ataukah menuruti apa yang diamanatkan ayahnya untuk menempuh karier akademis. Ayahnya dengan tekun dan sabar mengamati jejaknya. Ternyata, setelah 28 tahun, keinginan ayahnya terkabul meskipun sang ayah tidak sempat menyaksikan putranya dikukuhkan sebagai guru besar FSUI karena ayahnya telah wafat pada tanggal 30 April 1979. Dengan usaha yang sebaik-baiknya, amanat ayahnya kini telah diwujudkan meskipun kecenderungan pada karier militernya tidak pula tersisih. Pada tahun 1977 ia memperoleh gelar doktor dalam ilmu sastra bidang sejarah dengan tesis The Peta Army During the Japanese Occupation in Indonesion, yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul Tentara Peta pada Zaman Pendudukan Jepang di Indonesia. diterbitkan oleh penerbit Gramedia pada tahun 1979. Nugroho mendapat pendidikan di kota-kota besar seperti, Malang, Jakarta, dan Yogyakarta. Pengalaman Nugroho Notosusanto di bidang kemiliteran, pernah menjadi angota Tentara Pelajar (TP) Brigade 17 dan TKR Yogyakarta. Sejak Nugroho menjadi anggota redaksi harian Kami, ia semakin menjauh dari dunia sastra, akhirnya ia tinggalkan sama sekali. Ia kemudian beralih ke dunia sejarah dan tulisannya mengenai sejarah semakin banyak. Pada tahun 1967, Nugroho mendapatkan pangkat tituler berdasarkan SK Panglima AD No. Kep. 1994/12/67 berhubungan dengan tugas dan jabatannya pada AD. Sejak tahun 1964, ia menjabat Kepala Pusat Sejarah ABRI. Ia juga menjadi anggota Badan Pertimbangan Perintis Kemerdekaan serta aktif dalam herbagai pertemuan ilmiah di dalam dan di luar negeri. Pada tahun 1981 namanya kembali disebut-sebut berkenaan dengan bukunya Proses Perumusan Pancasila Dasar Negara. Buku ini menimbulkan polemik di berbagai media massa. Bahkan banyak pula yang mengecam buku itu sebagai pamflet politik. Nugroho dikenal sebagai penulis produktif. Di samping sebagai sastrawan dan pengarang, ia juga aktif menulis buku-buku ilmiah dan makalah dalam berbagai bidang ilmu, dan terjemahannya yang diterbitkan berjumlah dua puluh satu judul. Buku-buku itu sebagian besar merupakan lintasan sejarah dan kisah perjuangan militer. Wawasan yang mendalam tentang sejarah perjuangan ABRI menyebabkan ia mampu mengedit film yang berjudul ‘Pengkhianatan G.30S/PKI.” Di bidang keredaksian dapat dicatat sejumlah pengalamannya, yaitu memimpin majalah Gelora, menjadi pemimpin redaksi Kompas, anggota dewan redaksi Mahasiswa bersama Emil Salim Tahun 1955-1958, menjadi ketua juri hadiah sastra, dan menjadi pengurus BMKN. Sewaktu di perguruan tinggi ia menjadi koresponden majalah Forum, dan menjadi redaksi majalah Pelajar. Nugroho juga aktif dalam berbagai pertemuan ilmiah baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Dalam tahun 1959-1976 tercatat empat kali pertemuan ilmiah internasional yang dihadirinya. Di bidang pendidikan, Nugroho banyak memegang peranan penting. Ia pernah menjadi Pembantu Dekan Bidang Kemahasiswaan FSUI, menjadi Pembantu Rektor Bidang Kemahasiswaan, UI. Tahun 1971--1985 Nugroho menjadi wakil Ketua Harian Badan Pembinaa Pahiawan Pusat. Ketika Nugroho dilantik menjadi Rektor UI, ia disambut dengan kecemasan dan caci maki para mahasiswa UI. Mahasiswa menganggap Nugroho adalah seorang militer dan merupakan orang pemerintah yang disusupkan ke dalam kampus untuk mematikan kebebasan kehidupan mahasiswa. Pada tanggal 15 Januari 1982, Nugroho dilantik menjadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia dalam kabinet pembangunan IV. Ia dikenal sebagai orang yang kaya ide, karena semasa menjadi menteri, ia mencetuskan banyak gagasan, seperti konsep wawasan almamater, Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa, Pendidikan Humaniora. Di samping itu, banyak jasa-jasanya dalam dunia pendidikan karena ia yang mengubah kurikulum menghapus jurusan di SMA, sistem seleksi penerimaan mahasiswa baru (Sipenmaru). Walaupun Nugroho hanya dua tahun menjabat Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, banyak hal yang telah digarapnya, yaitu UT sebagai perguruan tinggi negeri yang paling bungsu di Indonesia. Program Wajib Belajar, Orang Tua Asuh, dan pendidikan kejuruan di sekolah menengah. Nugroho adalah satu-satunya menteri yang mengeluarkan Surat Keputusan mengenai tata laksana upacara resmi dan tata busana perguruan tinggi. Akan tetapi, sebelum SK ini terlaksana Nugroho telah dipanggil Tuhan Yang Maha Esa. Puncak pengakuan atas sumbangan Nugroho terhadap bangsa Indonesia adalah diberikannya Bintang Dharma, Bintang Gerilya, Bintang Yudha, Dharma Naraya, Satyalencana Penegak. Akan tetapi, sayang dia telah mendahului kita menghadap Tuhan Yang Maha Esa. Pengarang yang dimasukkan H.B. Jassin ke dalam golongan sastrawan Angkatan 66 termasuk juga sastrawan angkatan baru (periode 50-an) menurut versi Ajip Rosidi di antaranya adalah Nugroho Notosusanto. Di antara pengarang semasanya, Nugroho dikenal sebagai penulis esai. Sebagian besar pengarang waktu itu hanya menulis cerpen dan sajak, tetapi Nugroho banyak menulis esai. Nugroho menyelami zamannya, terutama tentang sastra dan kebudayaan. Tulisan-tulisan yang berisi pembelaan para sastrawan muda, yaitu ketika terdengar suara-suara tentang krisis kesusastraan, menyebabkan Nugroho Notosusanto tertarik dalam dunia sastra Indonesia. Nugroholah yang memprakarsai simposium sastra FSUI pada tahun 1953; yang kemudian dijadikan tradisi tahunan sampai tahun 1958. Bakat Nugroho dalam mengarang sudah terlihat ketika masih kecil. Ia mempunyai kesenangan mengarang cerita bersama Budi Darma. Cerita Nugroho selalu bernapas perjuangan. Pada waktu itu Republik Indonesia memang sedang diduduki oleh Belanda. Dari cerita-cerita yang dihasilkan Nugroho waktu itu, tampak benar semangat nasionalismenya. Menurut ayahnya, Nugroho mempunyai jiwa nasionalisme yang besar. Sebagai sastrawan, pada mulanya Nugroho menghasilkan sajak dan sebagian besar pernah dimuat di harian Kompas. Oleh karena tidak pernah mendapat kepuasan dalam menulis sajak, Nugroho kemudian mengkhususkan diri sebagai pengarang prosa, terutama cerpen dan esai. Karyanya pernah dimuat di berbagai majalah dan surat kabar seperti Gelora, Kompas, Mahasiwa, Indonesia, Cerita, Siasat, Nasional, Budaya, dan Kisah. Di samping itu, Nugroho juga menghasilkan karya terjemahan. Hasil terjemahan Nugroho, yaitu Kisah Perang Salib di Eropa (1968) dari Dwight D. Eisenhower, Crusade in Europe, Understanding Histotry: A Primer of Historical Method. Terjemahan tentang bahasa dan sejarah, yaitu Kisah daripada Bahasa, 1971 (Mario Pei, The Story of Language), dan Mengerti Sejarah. Karena Nugroho cukup lama dalam kemiliteran, ia dapat membeberkan peristiwa-peristiwa militer, perang serta suka dukanya hidup, seperti dalam cerpennya yang berjudul ‘Jembatan’, “Piyama”, “Doa Selamat Tinggal”, “Latah”, dan “Karanggeneng’. Dalam cerpen ini bahasa yang digunakan padat dan sering ada kata-kata kasar. Nugroho juga dapat bercerita dengan bahasa yang halus, seperti yang terdapat pada cerpen yang berjudul “Nini.” Cerpen yang berjudul “Nini” ini bertema seorang anak yang cacat dan ditinggal meninggal oleh ibunya, tetapi masih mengingat-ingat kebaikan ibunya. Cerpen ini bahasanya sedehana dan isinya mudah dimengerti pembaca. Isi cerpen ini tentang seorang ayah mencintai anaknya yang cacat dan yang mirip dengan almarhumah istrinya. Lingkungan pendidikan kata-kata kasar agaknya memberi pengaruh pada sikap dan pandangan hidupnya, seperti sikap terhadap dunia nenek moyang yang magis religius. seperti kita lihat dalam cerpennya yang berjudul “Mbah Danu”, yaitu mengisahkan dukun “Mbah Danu” yang terjadi di kota kelahiran pengarang. Dukun besar yang diakui keampuhannya di seluruh daerah dalam menyembuhkan orang sakit dengan mengusir roh-roh, setan-setan, dan jin-jin yang biasanya menghuni orang yang sedang sakit. Adanya kepercayaan mistik ini kemudian menimbulkan pertentangan di kalangan ilmuwan yang berpendidikan modern yang tak mau tahu tentang ilmu gaib. Begitu juga seorang dokter yang melakukan tugasnya dengan perhitungan ilmiah. Sebagai pengarang dan sebagai tentara Nugroho dapat bercerita tentang suasana pertempuran, baik tentang tempat, maupun peralatan peperangan. Pengarang mau berkata sejujurnya bahwa manusia itu tidak bebas dari kesalahan, baik dia tentara, pelajar, maupun pemimpin, seperti yang dilukiskannya dalam cerpen “Pembalasan Dendam.” Kumpulan cerpen Hujan Kepagian berisi enam cerita pendek yang semuanya menceritakan masa perjuangan menghadapi agresi Belanda. Buku ini cukup memberi gambaran tentang berbagai segi pengalainan manusia yang mengandung ketegangan, penderitaan, pendambaan, dan sesalan yang sering terjadi dalam peperangan. Dari sini tampak bahwa Nugroho mempunyai bakat observasi yang tajam. Bukunya yang berjudul Tiga Kota berisi sembilan cerita pendek yang ditulis antara tahun 1953-1954, judul Tiga Kota diambil karena latar cerita terjadi di tiga kota, yaitu Rembang, Yogyakarta, dan Jakarta, kota yang paling banyak memberinya inspirasi untuk lahirnya cerita. Rembang melatari cerita kenangan “Mbah Danu”, “Penganten”, dan “Tayuban”. Yogyakarta dan Jakarta melatari cerita “Jeep 04-1001 Hilang” dan “Vickers Jepang.” Oleh karena itu, kumpulan cerpen tersebut diberi judul Tiga Kota. Cerpen-cerpen yang terkandung dalam Tiga Kota ini pada umumnya sangat menarik, tidak hanya karena penuturan cerita yang lancar dan dipaparkan dengan gaya akuan, tetapi juga karena penulis sendiri mengalami peristiwa yang dituturkannya. Dengan demikian, cerpen-cerpen itu kelihatan hidup. Kumpulan cerpen Tiga Kota, ini sedikitnya merekam kehidupan pribadi penulis. Dalam seminar kesusastraan yang diselenggarakan oleh FSUI tahun 1963, Nugroho membawkan makalahnya yang berjudul “Soal Periodesasi dalam Sastra Indonesia.” Ia mengemukakan bahwa sesudah tahun 50 ada periode kesusastraan baru yang tidak bisa lagi dimasukkan ke dalam periodisasi sebelumnya. Menurut Nugroho, pengarang yang aktif mulai menulis pada periode 50-an adalah mereka yang mempunyai tradisi Indonesia sebagai titik tolaknya, dan juga mempunyai pandangan yang luas ke seluruh dunia. Karya Nugroho Notosusanto a. Cerpen yang Dibukukan (1) Hidjau Tanahku, Hidjau Badjuku. 1963. Jakarta: Balai Pustaka (2) Hudjan Kepagian. 1958. Jakarta: Balai Pustaka (3) Rasa Sayange. 1961. Jakarta: Pembangunan (4) Tiga Kota. 1959. Jakarta: Balai Pustaka b. Cerpen dalam Majalah 1. Prosa (1) “Pondok di Atas Bukit”. Kompas untuk generasi baru, 11.1, (51), 15—17. (2) “Teratak”. Kompas untuk generasi baru, 13.1, (51), 33-34. (Nugroho NS) (3) “Sebuah Pertemuan”. Kompas untuk generasi baru, 2.2, (52), 33-35. (4) “Eksekusi” Madjalah Nasional, 44.4, (53), 20-21. (5) “Gunung Kidul”. Madjalah Nasional, 30.4, (53), 20-2 1. (6) “Jeep 04-1001 Hilang”. Kisah, 1.1, (53), 7, 9-10. (7) “Konyol”. Madjalah Nasional, 33.4, (53), 20-22. (8) “Pembalasan Dendam”. Madjalah Nasional, 37.4, (53), 20-22. (9) “Ideal Type”. Kisah, 1.2, (54), 19-22 (10) “Mbah Danu”. Kisah, 9.2, (54), 271-172. (11) “Nokturne”. Kisah, 12.2, (54), .365-368. (12) “Piyama”. Kisah, 6.2, (54), 177-178. (13) “Puisi”. Kisah, 7.2, (54), 210-211. (14) “Raden Satiman”. Kisah, 3.2, (54), 79-81. (15) “Vickers Jepang”. Kisah, 5.2, (54), 129-131. (16) “Jembatan”. Kisah, 8.3, (55), 16-22. (17) “Partus”. Mimbar Indonesia, 25.9, (55), 20-2 1, 24-25. (18) “Senyum”. Madjalah Nasional, 6,7.6, (55), 25-26,22-23,26. (19) “Setan Lewat”. Mimbar Indonesia, 6.9, (55), 20-21. (20) “Panser”. Siasat, 524.11, (57), 29-31, 34. (21) “Tangga Kapal”. Forum, 4-5.4 (57), 24,32. (22) “Kepindahan”. Siasat, 598.12, (58), 31-32. (23) “Piano”. Siasat, 574.12, (58), 24-27. (24) “Ular”. Siasat, 595.12, (58), 26-29. (25) “Karanggenang”. Siasat, 619.13, (59), 28-30. (26) “Latah”. Siasat, 626.13, (59), 23-24. (27) “Sungai”. Budaya, 8.8, (59), 276-279, (28) “Bayi”. Femina, 16, (73), 42-44. 2. Prosa (1) “Alun”. Kompas untuk generasi baru, 1.2, (52), 67. (2) “Jerit di Malam Kelam”. Madjalah Nasional, 18.3, (52), 17. (3) “Pesan di Malam yang Penub Bintang”. Madjalah Nasional, 17.3, (52), 19. (4) “Rancangan Requiem”. Kompas untuk generasi baru, 1.2, (52), 67. (5) “Sebuah Pagi”. Madjalah Nasional, 49.3, (52), 21. (6) “Sepotong Kenangan”. Madjalah Nasional, 46.3, (52), 19. (7) “Sesal”. Kompas untuk generasi baru, 2.2, (52), 36. (8) “Tiwikraina”. Madjalah Nasional, 47.3, (52), 19. (9) “Adios Yogya”. Madjalah Nasional. 10.4, (53), 19. (10) “Amerta”. Madjalah Nasional, 16.4. (53), 19. (11) “Bali”. Budaya, 9, (53), 39. (12) “Longka Pura”. Madjalah Nasional, 16.4, (53), 19. (13) “Sebuah Malam Minggu”. Madjalah Nasional, 14.4, (53), 19. |