Apa yang Perlu Dibicarakan?

Kata pak Mochtar Lubis di sebuah buku yang kubaca, tidak ada gunanya membawa-bawa keburukan negara kita ke luar negeri, apalagi sampai membahasnya bersama orang-orang asing yang nantinya memberi rapor merah buat negara kita tanpa memberikan solusi, atau justru memberikan solusi yang mencekik bangsa kita sendiri.

Dua tahun yang lalu, saat aku sedang berada di sebuah pelatihan presenter acara-acara seputar Pemilu, seorang peneliti politik dari Amerika mewawancaraiku. Dia bertanya konsep kerahasiaan dalam pemberitaan tentang suatu negara. Di bidang politik, tentunya. Tentang perlu tidaknya hal itu dibuka seluas-luasnya pada dunia luar, dan tentang perlu tidaknya negara lain "peduli" pada urusan itu. Dari jawabanku, dia berkomentar, "kamu seperti mahasiswa idealis".

Ada yang bilang, sikap ini hasil didikan orde baru: tidak mengumbar keburukan kita di mata bangsa lain. Kalau dulu, alasannya "demi stabilitas nasional". Tapi dalam kasusku sikap ini sebetulnya hasil didikan Bapak. Bapakku almarhum juga selalu mengajarkan hal yang sama. Masalah yang ada di dalam rumah tangga kita sebaiknya diselesaikan di dalam dinding rumah kita juga... tetangga, tukang sayur, apalagi pak lurah ngga perlu tahu, karena apa yang buruk akan lebih mudah diingat oleh manusia. Ingat aja, di dalam pemberitaan maupun drama, tragedi tetap jadi penarik perhatian utama.

Karena itulah, di blog ini aku berusaha menceritakan ketidak-nyamanan negara kita dengan bahasa Indonesia, dan keindahan bumi Indonesia dengan bahasa Inggris. Biarlah, orang Indonesia yang tahu membuka mata dan memahami. Dan biarlah, mereka yang ngga memahami bahasa kita hanya mengerti cerita indah untuk melihat Indonesia dari sisi lain, atau menggerakkan hati buat membantu seperti untuk kasus gempa bumi.

Sayangnya ada hukum yang berkata kalau yang namanya bangkai, serapi apapun kita menutupinya, tetap saja baunya tercium. Yah, kalau sudah begini sih sudah susah bin sulit sekali. Dan sayangnya, hukum ini benar-benar berlaku buat negara ini.

Negara ini tak berdinding. Dan dengan reputasi yang tidak menguntungkan yang telah terbangun, agak sulit membuat orang tak berprasangka.

Tanpa bicara pun kita jadi bahan pembicaraan. Dan sayangnya, sekali lagi, apa yang buruk, sangat mudah diingat manusia. Dan apa yang buruk membuat orang berprasangka. Sepuluh kebaikan saja kadang tak cukup untuk membuat orang melupakan, apalagi kalau negara (dan kita sebagai bagiannya) tak kunjung sadar bahwa kita jadi bahan pergunjingan... apalagi kalau kita ikut-ikutan menjelek-jelekkan nama bumi tempat rah ibu kita tetumpah saat mengantarkan kita ke kehidupan. Keburukan itu akan terus melekat, erat di nama bumi kita, pun nama kita sebagai penghuninya.

Orang Indonesia tidak disiplin, anarkis, miskin, tidak demokratis, hipokrit, korup, jam karet... dan status "orang Indonesia" melekat di KTP kita, paspor kita, visa kita, kartu kredit kita, rekening bank kita...

Tak mudah jadi orang Indonesia. Status membuat kita harus melewati prosedur berbelit buat mendapat visa di negara-negara Barat. Status membuat kita terus ditawari kredit yang mencekik, menciptakan hutang tujuh turunan. Status membuat kita ditanya, "apakah di indonesia ada mobil?". Status kewarganegaraan kita membuat kartu kredit kita tertolak, atau dicaci maki bidder di E-Bay...

Ah. Ah. Sudahlah. Apa lagi yang perlu dibicarakan?
Kenyataannya kita memang jauh dari sempurna. Tanpa bicara pun semua telah memahami ketidaksempurnaan kita. Tapi setidaknya, kita mestinya berusaha berbuat lebih baik saat mulut kita tak lagi dipercaya.

MERDEKA!