Meugang Pertamaku

Meugang.
Apa sih itu?
Mungkin teman-teman dari luar Aceh bahkan tidak tahu bagaimana cara membaca kata itu dengan benar. Gampang kok, bacanya seperti “-megang” dalam kata “memegang”. Ini hari yang menandai datangnya bulan Ramadan di Aceh.


Di sini Meugang dirayakan sehari sampai dua hari sebelum Ramadan, di mana kantor-kantor pemerintahan, jalan-jalan dan sekolah jadi sepi, artis nggak mau shooting (berlaku buat artis yang kami hire untuk produksi iklan layanan masyarakat, sampai pak produser bela-belain traveling ke Lhokseumawe untuk mendatangi langsung ke rumahnya), saat pasar-pasar ikan berubah jadi pasar daging yang menjual daging sapi atau kambing, bahkan trotoar pun dipenuhi pedagang daging, dan saat kita melewati kampung-kampung, bau masakan berbahan dasar daging semerbak di udara (keterangan terakhir ini kukutip dari impresi Bang Zul, driver kami…).

Headline di koran lokal mengangkat isu naiknya harga daging dan semua orang di sekretariat SATKORLAK tempatku numpang ngantor datang terlambat dan pulang awal, padahal sirine di komputer yang terhubung dengan pusat informasi gempa dan tsunami nasional terus berbunyi gara-gara rangkaian gempa mulai dari Fak-fak di Indonesia Barat sampai Bengkulu dan Painan di Indonesia Barat. Fiuh...

Sampai hari ini aku belum menemukan orang yang bisa menjelaskan asal-usul meugang. Semuanya cuma bilang kalaui ini adalah hari saat orang Aceh berkumpul bersama keluarga. Makan daging sepuasnya jadi acara utama, seperti memuaskan hasrat duniawi sebelum menjalankan puasa sebulan penuh.
Kedengarannya menyenangkan ya?

Tapi tidak demikian ceritanya kalau kita jadi anak kos. Ini adalah saat prihatin. Hampir tidak ada warung makan yang buka,padahal kebanyakan anak kos perlu “logistik” untuk bekal makan sahur. Jadilah semalam aku dan Uni Lany berputar-putar dari kawasan Lampineung, Ulee Kareng sampai Lambhuk tanpa hasil. Semua warung makan tutup, mulai dari warung kecil sampai rumah makan yang biasanya dipenuhi para pelanggan bermobil. Untung saja bapak ibu kost-ku baik hati, mengundang anak-anak angkatnya buat menikmati 4 jenis hidangan daging di ruang makan mereka: ada kari, semur, rendang dan paru goreng (yang terakhir itu makanan kesukaanku!:). Terkesima juga, karena hidangan yang disajikan di atas meja betul-betul buanyak padahal harga daging selama Meugang naik 4-5 kali lipat. Senangnya..senangnya....

Walhasil, dari semua cerita di atas aku bisa menyimpulkan kalau kesimpulan dari pengalaman Meugang pertamaku adalah bitter sweet memory.

Bitter karena kantor-kantor pemerintahan hampir kosong dan aku jadi kehilangan semangat kerja, juga gara-gara kami dicekam kewaspadaan pasca peringatan tsunami, senewen akibat beruntunnya bunyi sirine peringatan gempa, tegang saat kami mengikuti perkembangan berita, dan nyesek setelah merasakan berputar-putar tanpa menemukan warung makan yang buka meski sudah menebalkan muka melewati gerombolan ABG yang pulang dari shalat tarawih yang tak henti-henti bersuit-suit saat ada cewek lewat, dan sweet karena kami dijamu hidangan meugang oleh keluarga Ibu Suraiya yang baik hati.

Perlu dicatat, ini momen bersejarah karena inilah pertama kalinya ketiga penghuni kamar kos di rumah kami makan bersama dalam satu meja – Jakob si kandidat master manajemen sampah dari Vienna, Austria, kak Lany dari Padang yang sesorean lemas gara-gara cemas mengikuti kabar terbaru dari Padang pasca gempa, dan aku.

So that was it, meugang pertamaku. :)