Star Gazer, Moon Watcher

full moon in Kuala Lumpur's sky, 19 April 2008

I am a moon watcher, I am a star gazer.
I don’t know much about the universe, I don’t know much about the galaxies, I don’t know much about astronomy. But I know one thing: stars and moon amaze me in a certain way, and now I tell you why
...

The Night Sky is My Soul’s Sanctuary. When I am sad I love to look up to the sky. I trust the sky as the keeper of my dreams, the cradle of my beloved souls, for the deaths on earth are all the livings there.

I look up to the sky at night when I miss the persons that I have never, or will never see again; my father, my first love, my past lovers, my good friends, my grandparents... then I know one thing.

I know that I have lost a quite a lot of people in my life, and i have missed so many beautiful places. I look up to the sky when I miss lovely days with my little sister, my old home, my childhood's hometown, the sparkle on Gombel hills of Semarang that used to be seen from my terrace, my ship, my days in Japan, my lone walking nights in Trocadero, wide grass field on the mountains where I used to camp, my white roses, my tiny little steps when I was a little girl learning to run…

All my beautiful memories are kept in a black box called the Night Sky. Each and every stars are the representation of the past existences. They blink, they spark, so far away, keeping my heart from away grieving. Keeping my heart to stay in a trust that the good days are not just the past but they are sparkling still within my heart. They are alive.

The "black box" sends me the light that passes through millions of light years,then I know that at least as long as I live, the spectrums of the light will always take care of me, at it shines from love that never fades, my love to those who have left, or those whom I left behind, and their love to me.

I feel warm whenever I see the sky. I feel the sacred serenity, tender caress that eases my heart that those who have been gone are still here in the circle of my "personalized universe". In my macro and micro cosmos, protecting me from another pain that might come, from another separation, wound from another valediction.

I can tell whose faces are smiling at me up there, between stars, clouds and moon. The darkness of the night is so kind to conceal the sadness, to provide me with such vast space to draw the faces or events that I miss with my mind. And I could see, the little me running, turning round and round in my favorite yellow princess-like gown… I could even hear that little girl laughs, ran to her father, sat on his lap, or waking up and saw a glass of hot chocolate milk vaporizing the warm fragrance of love and care… I could hear that little girl singing “Nina Bobo” to her little doll dressing up in red, or crying in her dull-colored room alone in her difficult nights.
I learn so much from life that I completely understand how a valediction comes. When the goodbye has reached the “adieu” state than just a “see you again”. I learn so much to identify who would be leaving me without even care if I would love to see him again, in the name of every reason that match to the ones I have listed from my lessons of life.

The night sky reminds me to all those events, that i would be awaken out of my almost-convincing lulabies... Then soon I know that I have to prepare a new space in the black box to keep him and all my memories there, and recall him sometimes to smile at me from high above.

As for my sweet dreams, I keep them all there, next to the moon. So when it is full and glowing I could feel the excitements of making them true, or leaving them behind in peace.
When my soul will rest, I will place her right there, floating in the night sky. Wingless, far from glorious Pegasus-like shape, yet it will grab all energy sparked by the burning helium, energy of creations, of the big bangs, of what happened in the past and foreseen in the future.

Of feelings that will never fade, reflections, circles of living - like the way satellites run, like the way it glows from the sunshine… white, white, glowing, moving only by the will of gravity, resting in the peace of my zero will…
Do you sometimes feel the same?

Out of My Morning Feelings

Thank God,
For giving me a forgiving heart
That I am willing to expand,
So it will roam to the width of the oceans, as deep as the earth crust
That waves nor eruptions will destroy me,
Dissolved they will be instead,
Standing still I will always be

Thank God,
For giving me the patience
That even a second after I am shouted at
Harassed or humiliated,
I always have the will and the strength to fight in peace
Then forgive and move on

Thank God,
For showing me the beauty of every pieces of clouds
That I always wish for the rain that brings the life
And believe that when I’m lucky enough,
The rainbow will bow in my horizon at a moment in time
So I can always say with smile; “life is not that bad…”

Thank God,
For giving me abundance of willingness
A complete pair of hands, a pair of feet, eyes, ears
To work, to walk, to see and to listen
Then I’m not a blind woman walking in my will
And a mouth that works in harmony with my mind and soul
Then I am not a dumb speaking, or the one numbing with many thoughts

Thank God,
For making me believe that the truth is revealing in any ways possible
That in my hopeless moments I will see,
How much life will always give
How the shed of tears are actually the diamonds want to be…

It’s a matter of time, it’s a matter of time, it’s a matter of time
And you give me chance to see it revealing.
Thank you God,
For loving me, for taking care of me.


Hope I will always be given the time to live and rest in peace, in your cradle of love, in your magical moments, in your miracles, in your beautiful destiny.

Yours faithfully,
A (used to be) Little Girl called Asri Wijayanti

Ini Bukan Perang, Ini Kesetaraan

bekerja bersama, bekerjasama, setara


“Jangan mau kalah sama laki-laki!”
Kalimat ini diucapkan dua orang selebriti ABG di Silet edisi khusus hari Kartini. Mungkin banyak perempuan lain yang meneriakkan pesan yang sama hari ini, di Hari Kartini. Rasanya sepuluh tahun yang lalu aku juga meneriakkan pesan yang sama. Tapi waktu berlalu, dan hari ini aku merasa, pesan itu belum sepenuhnya bercerita tentang pesan yang disampaikan dalam Habis Gelap Terbitlah Terang…

Teman-teman, izinkan saya berpendapat bahwa pesan di Hari Kartini bukanlah masalah kalah atau menang. Ini juga bukan masalah persamaan semata, dimana apa yang bisa dimiliki pria harus bisa dimiliki wanita. Ini masalah emansipasi, emansipasi dalam arti yang jauh lebih luas dari sekedar kemenangan dalam persaingan dengan para lelaki. Ini bukan perang, yang di akhir ceritanya menampilkan salah satu pihak mengibarkan bendera putih tanda menyerah. Ini juga bukan masalah pembagian angka kuadrat dalam ilmu hitung, saat suatu vektor yang dibagi menghasilkan dua bilangan pembagi yang sama besar. Ini seperti pembagian kualitatif, di mana angka yang tercipta dalam pembagian yang dilakukan adalah angka-angka relatif, yang tergantung dari faktor-faktor penentu lain, yang relatif tidak akan menghasilkan angka yang sama dari sudut pandang yang berbeda. Proses perubahannya pun memasuki ranah-ranah perubahan kualitatif dan kuantitatif. Ada perubahan kualitatif, akan menggunakan kaidah qualitative-leap. Kualitatif-lompatan. Lalu perubahan quantitative – accumulative, atau kualitatif – akumulatif, dimana perubahan akan terjadi setelah sekian faktor terakumulasikan.

Emansipasi. Aku yakin, tanpa perlu berdebat tentang teori asal-usul peristilahan, kata itu berasal dari kata emancipation. Dalam buku Tata Bahasa Baku Indonesia, "kitab suci"-ku saat menyelesaikan tugas akhir di bidang linguistik, dijelaskan bahwa Bahasa Indonesia menyerap istilah asing dengan modifikasi akhiran –ion menjadi –asi saat para Ahli Bahasa tidak dapat menemukan padanan kata tersebut dalam Bahasa Indonesia. Ah, begitu sulitnyakah mencari padanan kata ini dalam bahasa ibu kita? Secara dangkal, kita bisa saja berburuk sangka, bahwa ini bukti bahwa kita hidup dalam budaya paternalistik. Bahwa bumi yang disebut-sebut sebagai “Ibu Pertiwi” ini adalah bumi di mana pria berkuasa terlalu lama sehingga manusia di dalamnya tidak pernah membudi-dayakan istilah yang bertentangan dengan makna-makna yang ada dalam ranah bumi milik pria ini. (pertanyaan iseng: ungkinkah karena ini Ibu Pertiwi sering bersusah hati?) :)

Secara sederhana, saat kita melihat di daftar thesaurus dalam aplikasi Microsoft Words, kata emancipation disepadankan dengan liberation, setting free, freeing, release, unrestraint. Semuanya berbau kebebasan. Tidak terbatas. Namun saat kata emansipasi ini digabungkan dengan kata wanita, menjadi frasa “emansipasi wanita”, dan kita memasukkannya sebagai kata kunci pencarian dalam mesin pencari, berderet-deret informasi bertema feminisme memenuhi layar. Emansipasi, ketika bertemu dengan wanita, bergeser makna menjadi “equality” – yang celakanya sejak kita kecil, dalam sistem pendidikan yang mendidikku di era 1980 – 1990-an secara mentah diterjemahkan sebagai "persamaan". Ini yang membuat kebanyakan pria, dan sebagian wanita menyuarakan nada-nada sumbang, tentang mustahilnya seorang perempuan disamakan dengan laki-laki.

Ada yang hilang dalam pemahaman mutlak tentang emansipasi dan equality. Bertanyalah kepada sepuluh orang pria di negeri ini, di sudut-sudut desa, secara acak, apakah mereka setuju dengan persamaan laki-laki dan perempuan. Jawaban klasik yang akan terdengar adalah, “tidak mungkin perempuan sama dengan laki-laki”. Buat perempuan ekstra-sensitif (termasuk aku, beberapa tahun lalu ^_^), jawaban itu membuat jantung berdegup kencang, dan dada terasa panas. Tapi bila kita bertanya lagi, kepada diri kita sendiri, dengan jujur, benarkan “persamaan”, seperti yang ditanamkan dalam pendidikan kita, adalah kata yang semata-mata mencerminkan harapan-harapan akan pembebasan diri, pembebasan ekspresi, pembebasan kreatifitas, kebebasan mengatur fungsi reproduksi, kebebasan berpakaian, kebebasan memilih untuk menikah atau tidak menikah tanpa dibayangi stigma, kebebasan bicara, kebebasan bertindak atau kebebasan-kebebasan lain, yang mungkin terdengar utopis, namun termaknakan dalam kata emansipasi?

Pria bukannya mahluk tanpa masalah hidup. Peran sosial mereka, jamaknya standar pencitraan tentang sosok “lelaki yang baik dan bertanggung jawab”, boys don’t cry, laki-laki tidak sepantasnya berdandan, laki-laki harus kuat, menurutku juga bukanlah hal yang mudah. Apapun kerunyaman (runyam: pinjam istilah Andrea Hirata ah… :p) hidup perempuan, dan apapun kerunyaman hidup laki-laki, yang dituntut oleh struktur sosial semata karena mereka terlahir dengan kelamin yang berbeda, sungguh sangat bisa diperbaiki, agar hidup terasa lebih slaras buat semuanya. Perempuan, bagaimanapun adalah seorang perempuan, dan laki-laki bagaimanapun adalah seorang laki-laki. Fungsi reproduksi yang berbeda membangun pribadi-pribadi yang unik, dengan bakat dan kemampuan yang masing-masing unik pula. Lalu, tepatkah kita bicara “persamaan mutlak” dalam konteks ini?

Kaki kita seharusnya berpijak dalam pengertian penuh, bahwa dalam runyamnya perbedaan itu laki-laki dan perempuan adalah satu mahluk yang sama: manusia. Tidak ada yang lebih rendah, tidak ada yang lebih tinggi, tidak ada yang terlahir lebih mulia dari yang lain (insya Allah kecuali Nabi dan Rasul), tidak ada yang lebih berkuasa, tidak ada yang berhak untuk bertindak semena-mena.

Sayangnya saat bangsa ini belajar tentang Raden Ajeng Kartini dan emansipasi, guru-guru kita, media kita, orangtua kita, dan bangsa kita belum hidup dalam status liberated, set free, freed, released, unrestrained. Lalu bagaimana bisa pesan-pesan emansipasi itu tersampaikan utuh, dalam bentuk yang mudah dicerna oleh manusia-manusia yang baru saja belajar tentang hidup, yang bernama anak-anak dan para siswa?

Seperti halnya segala hal yang diejawantahkan dalam kedangkalan pikir, pengajaran tentang emansipasi di bumi kelahiranku ini banyak menciptakan kondisi hitam-putih yang jauh dari ideal. Bukan kesetaraan yang ditunjukkan, namun bukti-bukti bahwa perempuan bisa bertindak atau bekerja seperti laki-laki. Lupakah kita bahwa tujuan dari segala pergerakan adalah sebenarnya untuk menciptakan harmoni hidup yang lebih baik?

Harmoni berangkat dari penghargaan dan penghormatan atas individu-individu yang ada dalam masyarakat, dengan pemahaman bahwa tiap orang hadir dengan bakat, keinginan dan kebutuhan yang berbeda. Estrogen, progesterone, dan rahim dalam tubuh perempuan diciptakan bukan tanpa alasan yang baik. Demikian pula testosteron dalam tubuh laki-laki, semua ada demi alasan-alasan yang membuat dua mahluk yang berbeda ini saling melengkapi.

Dalam hal kesetaraan laki-laki dan perempuan, tentu meski laki-laki punya keinginan kebutuhan yang berbeda dengan perempuan. Meski demikian, ada bidang-bidang intersection di mana ada keinginan serta kebutuhan yang sama yang ingin terwujudkan. Keinginan, dan kebutuhan sebagai manusia layaknya, yang setara. Keinginan dan kebutuhan, yang bisa diada atau ditiadakan oleh struktur sosial , oleh pendidikan, oleh sistem buatan manusia yang tak peka atas hak-hak dasar dan harkat manusia.

Model-model yang diciptakan dan ditunjukkan (termasuk dalam program berita dan variety show) adalah “perempuan bisa juga jadi sopir truk trailer”, “perempuan jadi tukang tambal ban”, dan lain-lain. Terasa familiar? Yah, begitulah…

Alih-alih menghasilkan pemahaman tentang kesetaraan dan keadilan yang muncul dari kesadaran akan perbedaan keinginan, kemampuan, yang berbanding dengan kebebasan menentukan pilihan hidup, cerita tentang emansipasi yang ditayangkan di media kita semakin membangun dimensi hitam-putih bahwa perempuan tidak boleh kalah dengan laki-laki. Pertanyaannya adalah, benarkah pilihan-pilihan itu dilaksanakan dengan sepenuh keinginan, bukan atas dasar desakan keterpaksaan, atas nama apapun? (baca: desakan ekonomi? Penelantaran suami? Dendam atau pembuktian?)

Adakah di antara media kita, saat hari Kartini yang lalu, bicara tentang day care center – yang memungkinkan seorang ibu tetap bekerja untuk memenuhi kebutuhan ekonomi dan aktualisasi dirinya, dengan tetap merasa bahagia, menjadi ibu yang bisa dekat dengan anak-anaknya? Adakah media yang mengulas bahwa dalam kesetaraan hak perempuan untuk berkarir bersama mitra para laki-laki, ada hak-hak yang harus dipenuhi oleh korporasi sesuai kebutuhan mereka? Adakah yang bercerita tentang kebahagiaan perempuan yang memilih (baca baik-baik ya; memilih) untuk menjadi ibu rumah tangga, meski dari hitungan masyarakat hedonis dia terhitung berpendidikan tinggi dan sebenarnya dapat meraih karir gemilang dengan penghasilan luar biasa tinggi?

Perempuan ini, ibu rumah tangga ini, saya yakin, bukanlah perempuan yang tidak memahami makna emansipasi. Dia bukanlah perempuan yang kalah dari laki-laki. Sebagai pemegang keputusan penting di "Negara" kecilnya, rumah tangga, dia bukan perempuan lemah, selama ada kesetaraan penghormatan dan penghargaan dalam sistem pemerintahan di dalamnya.

Saat guru-guru sejarah kita bercerita tentang emansipasi dengan berangkat dari membaca buku-buku yang berisi ringkasan jalan cerita seorang perempuan ningrat muda yang menulis surat kepada sahabatnya di Belanda tentang sesaknya rasa menjadi seorang perempuan Jawa dan angan-angannya tentang kehidupan perempuan, saat guru-guru kita mengingat bahwa Sang Raden Ajeng membuka sekolah keputrian pertama, cerita itu belum cukup (setidaknya menurutku) untuk membangun pemahaman tentang emansipasi. Ada yang harus diubah.

Persamaan yang setara dan proporsional, mungkin adalah frasa yang tepat bercerita tentang apa yang seharusnya tumbuh dalam kesadaran.Kesadaran tak tumbuh tanpa pendidikan, pemahaman yang benar, hati yang mau membuka rasa, dan pikir yang mau mengarahkan tindakan. Jalan masih panjang. Emansipasi bukan masalah kalah atau menang. Ini masalah pembebasan dan kesetaraan. Tak ada bendera putih yang harus berkibar, yangharus ada adalah sebuah kesepakatan.

Untuk bangsa yang masih belajar, kita masih harus bersabar mengakumulasikan beragam cara untuk mencapai perubahan. Salam hormat untuk semua wanita di Bumi Pertiwi. :)