Mulutmu harimaumu

Mulutmu harimaumu

Peribahasa ini memiliki arti bahwa hendaknya kita memikirkan segala perkataan yang akan diucapkan karena kata yang telanjur terucap dapat merugikan diri sendiri.

Bagai menegakkan benang basah

Bagai menegakkan benang basah

Peribahasa ini berarti melakukan suatu pekerjaan yang mustahil terjadi. Atau melakukan sesuatu yang sebenarnya sudah diketahui dari awal tidak akan berhasil

Bagai air di daun talas

Bagai air di daun talas

Peribahasa ini menggambarkan ketidakcocokan antara dua orang seperti air yang ditaruh di atas daun talas. Selain itu, peribahasa ini dapat berarti orang yang tidak punya pendirian/keteguhan hati.

Belajar ke yang pintar, berguru ke yang pandai

Belajar ke yang pintar, berguru ke yang pandai

Peribahasa itu hendak mengingatkan kepada kita bahwa orang pintar dan orang pandai dapat dijadikan sebagai tempat belajar dan berguru. Mereka itu merupakan orang yang memiliki ilmu pengetahuan dan pengalaman yang dapat disebarkan kepada orang lain. Dengan demikian, orang yang belajar dan berguru kepadanya akan bertambah ilmu pengetahuannya dan pengalamannya.

Peribahasa itu memberi makna bahwa kita jika akan menuntut ilmu kepada orang yang tepat, yaitu orang yang berilmu pengetahuan dan orang yang mempunyai pengalaman.

Kalah jadi abu, menang jadi arang

Kalah jadi abu, menang jadi arang

Abu adalah sisa yang tinggal setelah suatu barang mengalami pembakaran. Arang adalah serbuk hitam bekas kayu yang terbakar. Jadi, baik abu maupun arang merupakan barang yang terjadi karena pembakaran. Biasanya sesuatu yang kita masak menjadi abu atau arang tidak dapat dimanfaatkan lagi. Hal itu berarti kita mengalami kerugian. Jadi, abu dan arang itu mengiaskan kerugian. Kalah dan menang merupakan hasil pekerjaan dari dua orang yang mengadakan pertandingan atau perlombaan. Namun, dalam peribahasa itu kalah dan menang terbatas pada dua orang yang bertengkar atau berkelahi.

Peribahasa itu menasihati kita agar jangan bertengkar atau berkelahi karena yang kalah dan menang sama-sama akan menderita kerugian.

Lempar batu, sembunyi tangan

Lempar batu, sembunyi tangan

Sesuatu yang dilemparkan pasti ada seseorang yang melakukan lemparan. Namun, ada juga yang melakukan lemparan, kemudian orang itu bersembunyi sehingga tidak diketahui siapa pelemparnya. Artinya, orang itu tidak mau bertanggung jawab atas perbuatannya. Orang seperti itu digolongkan sebagai pengecut, yaitu berani berbuat, tetapi takut bertanggung jawab atas perbuatanya. Jadi, peribahasa itu mempunyai arti berani berbuat, tetapi takut bertanggung jawab.

Berjalan peliharakan kaki, berkata peliharakan lidah

Berjalan peliharakan kaki, berkata peliharakan lidah

Dalam peribahasa itu, berjalan dan berkata diumpamakan dengan perbuatan dan perkataan kita. Dalam melakukan pekerjaan hendaklah setiap orang berhati-hati agar terhindar dari kesalahan. Baik kecil maupun besar, kesalahan yang kita lakukan akan merugikan diri sendiri. Kita juga harus menjaga perkataan kita agar tidak menyakiti perasaan orang lain. Orang yang halus tutur katanya akan disenangi dalam pergaulan. Jadi, peribahasa tersebut mempunyai makna yang bersifat mengingatkan kita, yaitu hendaknya kita selalu berhati-hati dengan semua perbuatan kita.

Kasih ibu sepanjang jalan, kasih anak...

Kasih ibu sepanjang jalan, kasih anak sepanjang penggalah

Kata jalan dan penggalah tersebut digunakan untuk membandingkan antara panjang dan pendek. Sepanjang jalan ini berarti panjang sekali, bahkan tidak terbatas. Karena kasih sayang ibu tidak terbatas, seorang ibu bersedia berkorban apa saja untuk anaknya. Sepanjang penggalah berarti panjangnya terbatas. Adanya cerita tentang anak yang menyia-nyiakan ibunya merupakan ibarat cinta yang sepenggalan. Hal itu berarti kasih sayang ibu terhadap anak tidak sama dengan kasih sayang anak terhadap ibu. Jadi, peribahasa itu mengingatkan kepada kita bahwa kasih sayang ibu terhadap anak tidak ada bandingannya.

Chairil Anwar (1922-1949)

















Nama:
Chairil Anwar
Lahir:
Medan, Sumatera Utara, 26 Juli 1922
Meninggal:
Jakarta, 28 April 1949

Pendidikan:
- HIS
- MULO (tidak tamat)

Profesi:
Penyair Angkatan 45

Karya Kumpulan Puisi:
- Kerikil Tajam dan yang Terampas dan yang Putus (1949);
- Deru Campur Debu (1949);
- Tiga Menguak Takdir (1950 bersama Asrul Sani dan Rivai Apin);
- Aku Ini Binatang Jalang (1986);
- Koleksi sajak 1942-1949", diedit oleh Pamusuk Eneste, kata penutup oleh Sapardi Djoko Damono (1986);
- Derai-derai Cemara (1998)
- Buku kumpulan puisinya diterbitkan Gramedia berjudul Aku ini Binatang Jalang (1986).


Karya Terjemahan:
Pulanglah Dia Si Anak Hilang (1948, Andre Gide)
- Kena Gempur (1951, John Steinbeck).

Karyanya yang diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, Jerman dan Spanyol:
- "Sharp gravel, Indonesian poems", oleh Donna M. Dickinson (Berkeley, California, 1960);
- "Cuatro poemas indonesios, Amir Hamzah, Chairil Anwar, Walujati" (Madrid: Palma de Mallorca, 1962);
- Chairil Anwar: Selected Poems oleh Burton Raffel dan Nurdin Salam (New York, New Directions, 1963);
- "Only Dust: Three Modern Indonesian Poets", oleh Ulli Beier (Port Moresby [New Guinea]: Papua Pocket Poets, 1969);
- The Complete Poetry and Prose of Chairil Anwar, disunting dan diterjemahkan oleh Burton Raffel (Albany, State University of New York Press, 1970)
- The Complete Poems of Chairil Anwar, disunting dan diterjemahkan oleh Liaw Yock Fang, dengan bantuan H. B. Jassin (Singapore: University Education Press, 1974)
- Feuer und Asche: sämtliche Gedichte, Indonesisch/Deutsch oleh Walter Karwath (Wina: Octopus Verlag, 1978)
- The Voice of the Night: Complete Poetry and Prose of Chairil Anwar, oleh Burton Raffel (Athens, Ohio: Ohio University, Center for International Studies, 1993)

Karya-karya tentang Chairil Anwar
Chairil Anwar: memperingati hari 28 April 1949, diselenggarakan oleh Bagian Kesenian Djawatan Kebudajaan, Kementerian Pendidikan, Pengadjaran dan Kebudajaan (Djakarta, 1953)
Boen S. Oemarjati, "Chairil Anwar: The Poet and his Language" (Den Haag: Martinus Nijhoff, 1972).
Abdul Kadir Bakar, "Sekelumit pembicaraan tentang penyair Chairil Anwar" (Ujung Pandang: Lembaga Penelitian dan Pengembangan Ilmu-Ilmu Sastra, Fakultas Sastra, Universitas Hasanuddin, 1974)
S.U.S. Nababan, "A Linguistic Analysis of the Poetry of Amir Hamzah and Chairil Anwar" (New York, 1976)
Arief Budiman, "Chairil Anwar: Sebuah Pertemuan" (Jakarta: Pustaka Jawa, 1976)
Robin Anne Ross, Some Prominent Themes in the Poetry of Chairil Anwar, Auckland, 1976
H.B. Jassin, "Chairil Anwar, pelopor Angkatan '45, disertai kumpulan hasil tulisannya", (Jakarta: Gunung Agung, 1983)
Husain Junus, "Gaya bahasa Chairil Anwar" (Manado: Universitas Sam Ratulangi, 1984)
Rachmat Djoko Pradopo, "Bahasa puisi penyair utama sastra Indonesia modern" (Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1985)
Sjumandjaya, "Aku: berdasarkan perjalanan hidup dan karya penyair Chairil Anwar (Jakarta: Grafitipers, 1987)
Pamusuk Eneste, "Mengenal Chairil Anwar" (Jakarta: Obor, 1995)
Zaenal Hakim, "Edisi kritis puisi Chairil Anwar" (Jakarta: Dian Rakyat, 1996)











Chairil Anwar (1922-1949)

Penyair Legendaris Indonesia


Puisi-puisi "Si Binatang Jalang" Chairil Anwar telah menjadi inspirasi bagi perjuangan kemerdekaan bangsanya. Pria kelahiran Medan, 26 Juli 1922, ini seorang penyair legendaris Indonesia yang karya-karyanya hidup dalam batin (digemari) sepanjang zaman. Salah satu bukti keabadian karyanya, pada Jumat 8 Juni 2007, Chairil Anwar, yang meninggal di Jakarta, 28 April 1949, masih dianugerahi penghargaan Dewan Kesenian Bekasi (DKB) Award 2007 untuk kategori seniman sastra. Penghargaan itu diterima putrinya, Evawani Alissa Chairil Anwar.

Chairil memang penyair besar yang menginspirasi dan mengapresiasi upaya manusia meraih kemerdekaan, termasuk perjuangan bangsa Indonesia untuk melepaskan diri dari penjajahan. Hal ini, antara lain tercermin dari sajaknya bertajuk: "Krawang-Bekasi", yang disadurnya dari sajak "The Young Dead Soldiers", karya Archibald MacLeish (1948).

Dia juga menulis sajak "Persetujuan dengan Bung Karno", yang merefleksikan dukungannya pada Bung Karno untuk terus mempertahankan proklamasi 17 Agustus 1945.

Bahkan sajaknya yang berjudul "Aku" dan "Diponegoro" juga banyak diapresiasi orang sebagai sajak perjuangan. Kata Aku binatang jalang dalam sajak Aku, diapresiasi sebagai dorongan kata hati rakyat Indonesia untuk bebas merdeka.

Chairil Anwar yang dikenal sebagai "Si Binatang Jalang" (dalam karyanya berjudul Aku) adalah pelopor Angkatan '45 yang menciptakan trend baru pemakaian kata dalam berpuisi yang terkesan sangat lugas, solid dan kuat. Dia bersama Asrul Sani dan Rivai Apin memelopori puisi modern Indonesia. Chairil Anwar meninggal dalam usia muda karena penyakit TBC dan dimakamkan di Taman Pemakaman Umum Karet Bivak, Jakarta. Hari meninggalnya diperingati sebagai Hari Chairil Anwar.


Chairil menekuni pendidikan HIS dan MULO, walau pendidikan MULO-nya tidak tamat. Puisi-puisinya digemari hingga saat ini. Salah satu puisinya yang paling terkenal sering dideklamasikan berjudul Aku ( "Aku mau hidup Seribu Tahun lagi!"). Selain menulis puisi, ia juga menerjemahkan karya sastra asing ke dalam bahasa Indonesia. Dia juga pernah menjadi redaktur ruang budaya Siasat “Gelanggang” dan Gema Suasana. Dia juga mendirikan “Gelanggang Seniman Merdeka” (1946).

Kumpulan puisinya antara lain: Kerikil Tajam dan yang Terampas dan yang Putus (1949); Deru Campur Debu (1949); Tiga Menguak Takdir (1950 bersama Asrul Sani dan Rivai Apin); Aku Ini Binatang Jalang (1986); Koleksi sajak 1942-1949", diedit oleh Pamusuk Eneste, kata penutup oleh Sapardi Djoko Damono (1986); Derai-derai Cemara (1998). Buku kumpulan puisinya diterbitkan Gramedia berjudul Aku ini Binatang Jalang (1986).

Karya-karya terjemahannya adalah: Pulanglah Dia Si Anak Hilang (1948, Andre Gide); Kena Gempur (1951, John Steinbeck).

Sementara karya-karyanya yang diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, Jerman dan Spanyol adalah: "Sharp gravel, Indonesian poems", oleh Donna M. Dickinson (Berkeley, California, 1960); "Cuatro poemas indonesios, Amir Hamzah, Chairil Anwar, Walujati" (Madrid: Palma de Mallorca, 1962); Chairil Anwar: Selected Poems oleh Burton Raffel dan Nurdin Salam (New York, New Directions, 1963); "Only Dust: Three Modern Indonesian Poets", oleh Ulli Beier (Port Moresby [New Guinea]: Papua Pocket Poets, 1969);

The Complete Poetry and Prose of Chairil Anwar, disunting dan diterjemahkan oleh Burton Raffel (Albany, State University of New York Press, 1970); The Complete Poems of Chairil Anwar, disunting dan diterjemahkan oleh Liaw Yock Fang, dengan bantuan HB Jassin (Singapore: University Education Press, 1974); Feuer und Asche: sämtliche Gedichte, Indonesisch/Deutsch oleh Walter Karwath (Wina: Octopus Verlag, 1978); The Voice of the Night: Complete Poetry and Prose of Chairil Anwar, oleh Burton Raffel (Athens, Ohio: Ohio University, Center for International Studies, 1993)

Sedangkan karya-karya tentang Chairil Anwar antara lain:
1) Chairil Anwar: memperingati hari 28 April 1949, diselenggarakan oleh Bagian Kesenian Djawatan Kebudajaan, Kementerian Pendidikan, Pengadjaran dan Kebudajaan (Djakarta, 1953); 2) Boen S. Oemarjati, "Chairil Anwar: The Poet and his Language" (Den Haag: Martinus Nijhoff, 1972); 3) Abdul Kadir Bakar, "Sekelumit pembicaraan tentang penyair Chairil Anwar" (Ujung Pandang: Lembaga Penelitian dan Pengembangan Ilmu-Ilmu Sastra, Fakultas Sastra, Universitas Hasanuddin, 1974); 4) S.U.S. Nababan, "A Linguistic Analysis of the Poetry of Amir Hamzah and Chairil Anwar" (New York, 1976); 5) Arief Budiman, "Chairil Anwar: Sebuah Pertemuan" (Jakarta: Pustaka Jawa, 1976);

6) Robin Anne Ross, Some Prominent Themes in the Poetry of Chairil Anwar, Auckland, 1976; 7) H.B. Jassin, "Chairil Anwar, pelopor Angkatan '45, disertai kumpulan hasil tulisannya", (Jakarta: Gunung Agung, 1983); 8) Husain Junus, "Gaya bahasa Chairil Anwar" (Manado: Universitas Sam Ratulangi, 1984); 9) Rachmat Djoko Pradopo, "Bahasa puisi penyair utama sastra Indonesia modern" (Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1985); 10) Sjumandjaya, "Aku: berdasarkan perjalanan hidup dan karya penyair Chairil Anwar (Jakarta: Grafitipers, 1987); 11) Pamusuk Eneste, "Mengenal Chairil Anwar" (Jakarta: Obor, 1995); 12) Zaenal Hakim, "Edisi kritis puisi Chairil Anwar" (Jakarta: Dian Rakyat, 1996). ►e-ti/tsl, dari berbagai sumber

*** TokohIndonesia DotCom (Ensiklopedi Tokoh Indonesia)

==============================

PUISI - PUISI CHAIRIL ANWAR

PRAJURIT JAGA MALAM

Waktu jalan. Aku tidak tahu apa nasib waktu ?
Pemuda-pemuda yang lincah yang tua-tua keras,
bermata tajam
Mimpinya kemerdekaan bintang-bintangnya
kepastian
ada di sisiku selama menjaga daerah mati ini
Aku suka pada mereka yang berani hidup
Aku suka pada mereka yang masuk menemu malam
Malam yang berwangi mimpi, terlucut debu......
Waktu jalan. Aku tidak tahu apa nasib waktu ! (1948)

Siasat, Th III, No. 96, 1949

================================

MALAM

Mulai kelam
belum buntu malam
kami masih berjaga
--Thermopylae?-
- jagal tidak dikenal ? -
tapi nanti
sebelum siang membentang
kami sudah tenggelam hilang

Zaman Baru, No. 11-12, 20-30 Agustus 1957

==================================

KRAWANG-BEKASI

Kami yang kini terbaring antara Krawang-Bekasi
tidak bisa teriak "Merdeka" dan angkat senjata lagi.
Tapi siapakah yang tidak lagi mendengar deru kami,
terbayang kami maju dan mendegap hati ?

Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak
Kami mati muda. Yang tinggal tulang diliputi debu.
Kenang, kenanglah kami.

Kami sudah coba apa yang kami bisa
Tapi kerja belum selesai, belum bisa memperhitungkan arti 4-5 ribu nyawa

Kami cuma tulang-tulang berserakan
Tapi adalah kepunyaanmu
Kaulah lagi yang tentukan nilai tulang-tulang berserakan

Atau jiwa kami melayang untuk kemerdekaan kemenangan dan harapan
atau tidak untuk apa-apa,
Kami tidak tahu, kami tidak lagi bisa berkata
Kaulah sekarang yang berkata

Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika ada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak

Kenang, kenanglah kami
Teruskan, teruskan jiwa kami
Menjaga Bung Karno
menjaga Bung Hatta
menjaga Bung Sjahrir

Kami sekarang mayat
Berikan kami arti
Berjagalah terus di garis batas pernyataan dan impian

Kenang, kenanglah kami
yang tinggal tulang-tulang diliputi debu
Beribu kami terbaring antara Krawang-Bekasi (1948)

Brawidjaja, Jilid 7, No 16, 1957

==============================

DIPONEGORO

Di masa pembangunan ini
tuan hidup kembali
Dan bara kagum menjadi api

Di depan sekali tuan menanti
Tak gentar. Lawan banyaknya seratus kali.
Pedang di kanan, keris di kiri
Berselempang semangat yang tak bisa mati.

MAJU

Ini barisan tak bergenderang-berpalu
Kepercayaan tanda menyerbu.

Sekali berarti
Sudah itu mati.

MAJU

Bagimu Negeri
Menyediakan api.

Punah di atas menghamba
Binasa di atas ditindas
Sesungguhnya jalan ajal baru tercapai
Jika hidup harus merasai

Maju
Serbu
Serang
Terjang

(Februari 1943)
Budaya, Th III, No. 8, Agustus 1954

=========================


PERSETUJUAN DENGAN BUNG KARNO

Ayo ! Bung Karno kasi tangan mari kita bikin janji
Aku sudah cukup lama dengan bicaramu
dipanggang diatas apimu, digarami lautmu
Dari mulai tgl. 17 Agustus 1945
Aku melangkah ke depan berada rapat di sisimu
Aku sekarang api aku sekarang laut

Bung Karno ! Kau dan aku satu zat satu urat
Di zatmu di zatku kapal-kapal kita berlayar
Di uratmu di uratku kapal-kapal kita bertolak & berlabuh
(1948)

Liberty, Jilid 7, No 297, 1954

==========================================


AKU

Kalau sampai waktuku
'Ku mau tak seorang kan merayu
Tidak juga kau

Tak perlu sedu sedan itu

Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang

Biar peluru menembus kulitku
Aku tetap meradang menerjang

Luka dan bisa kubawa berlari
Berlari
Hingga hilang pedih peri

Dan aku akan lebih tidak perduli

Aku mau hidup seribu tahun lagi

Maret 1943

===============================


PENERIMAAN

Kalau kau mau kuterima kau kembali
Dengan sepenuh hati

Aku masih tetap sendiri

Kutahu kau bukan yang dulu lagi
Bak kembang sari sudah terbagi

Jangan tunduk! Tentang aku dengan berani

Kalau kau mau kuterima kembali
Untukku sendiri tapi

Sedang dengan cermin aku enggan berbagi.

Maret 1943

===================================

HAMPA

kepada sri

Sepi di luar. Sepi menekan mendesak.
Lurus kaku pohonan. Tak bergerak
Sampai ke puncak. Sepi memagut,
Tak satu kuasa melepas-renggut
Segala menanti. Menanti. Menanti.
Sepi.
Tambah ini menanti jadi mencekik
Memberat-mencekung punda
Sampai binasa segala. Belum apa-apa
Udara bertuba. Setan bertempik
Ini sepi terus ada. Dan menanti.

==========================


DOA

kepada pemeluk teguh

Tuhanku
Dalam termangu
Aku masih menyebut namamu

Biar susah sungguh
mengingat Kau penuh seluruh

cayaMu panas suci
tinggal kerdip lilin di kelam sunyi

Tuhanku

aku hilang bentuk
remuk

Tuhanku

aku mengembara di negeri asing

Tuhanku
di pintuMu aku mengetuk
aku tidak bisa berpaling

13 November 1943

================================


SAJAK PUTIH

Bersandar pada tari warna pelangi
Kau depanku bertudung sutra senja
Di hitam matamu kembang mawar dan melati
Harum rambutmu mengalun bergelut senda

Sepi menyanyi, malam dalam mendoa tiba
Meriak muka air kolam jiwa
Dan dalam dadaku memerdu lagu
Menarik menari seluruh aku

Hidup dari hidupku, pintu terbuka
Selama matamu bagiku menengadah
Selama kau darah mengalir dari luka
Antara kita Mati datang tidak membelah...

==================================


SENJA DI PELABUHAN KECIL
buat: Sri Ajati

Ini kali tidak ada yang mencari cinta
di antara gudang, rumah tua, pada cerita
tiang serta temali. Kapal, perahu tiada berlaut
menghembus diri dalam mempercaya mau berpaut

Gerimis mempercepat kelam. Ada juga kelepak elang
menyinggung muram, desir hari lari berenang
menemu bujuk pangkal akanan. Tidak bergerak
dan kini tanah dan air tidur hilang ombak.

Tiada lagi. Aku sendiri. Berjalan
menyisir semenanjung, masih pengap harap
sekali tiba di ujung dan sekalian selamat jalan
dari pantai keempat, sedu penghabisan bisa terdekap
1946

==================================


CINTAKU JAUH DI PULAU

Cintaku jauh di pulau,
gadis manis, sekarang iseng sendiri

Perahu melancar, bulan memancar,
di leher kukalungkan ole-ole buat si pacar.
angin membantu, laut terang, tapi terasa
aku tidak 'kan sampai padanya.

Di air yang tenang, di angin mendayu,
di perasaan penghabisan segala melaju
Ajal bertakhta, sambil berkata:
"Tujukan perahu ke pangkuanku saja,"

Amboi! Jalan sudah bertahun ku tempuh!
Perahu yang bersama 'kan merapuh!
Mengapa Ajal memanggil dulu
Sebelum sempat berpeluk dengan cintaku?!

Manisku jauh di pulau,
kalau 'ku mati, dia mati iseng sendiri.
(1946)

==================================


MALAM DI PEGUNUNGAN

Aku berpikir: Bulan inikah yang membikin dingin,
Jadi pucat rumah dan kaku pohonan?
Sekali ini aku terlalu sangat dapat jawab kepingin:
Eh, ada bocah cilik main kejaran dengan bayangan!
(1947)

YANG TERAMPAS DAN YANG PUTUS

kelam dan angin lalu mempesiang diriku,
menggigir juga ruang di mana dia yang kuingin,
malam tambah merasuk, rimba jadi semati tugu

di Karet, di Karet (daerahku y.a.d) sampai juga deru dingin

aku berbenah dalam kamar, dalam diriku jika kau datang
dan aku bisa lagi lepaskan kisah baru padamu;
tapi kini hanya tangan yang bergerak lantang

tubuhku diam dan sendiri, cerita dan peristiwa berlalu beku
(1949)

============================


DERAI DERAI CEMARA

cemara menderai sampai jauh
terasa hari akan jadi malam
ada beberapa dahan di tingkap merapuh
dipukul angin yang terpendam

aku sekarang orangnya bisa tahan
sudah berapa waktu bukan kanak lagi
tapi dulu memang ada suatu bahan
yang bukan dasar perhitungan kini

hidup hanya menunda kekalahan
tambah terasing dari cinta sekolah rendah
dan tahu, ada yang tetap tidak terucapkan
sebelum pada akhirnya kita menyerah
(1949)

*** TokohIndonesia DotCom (Ensiklopedi Tokoh Indonesia)

Sutan Takdir Alisjahbana









► e-ti/sp
Nama :
Sutan Takdir Alisjahbana
Lahir:
Natal, Sumatera Utara, 11 Februari 1908
Meninggal:

Agama:
Islam

Pendidikan:
-

Pekerjaan:


Sutan Takdir Alisjahbana (1908)

Andaikan Masih Hidup

Hari ini 100 tahun hari kelahiran Sutan Takdir Alisjahbana (STA), 11 Februari 1908 di Natal, Sumatera Utara. Alangkah beruntungnya kita jika Sutan Takdir Alisjahbana (STA) masih hidup sekarang. Kita bisa banyak bertanya soal arah kebudayaan bangsa ini. Soal budaya yang hari-hari ini menjadi isu sangat relevan dalam kehidupan kita saat media massa sibuk memberitakan perdebatan mengenai RUU Pornografi dan Pornoaksi.

Bukankah STA adalah pemuja modernitas dari Barat? Mungkin kalimat itu yang bisa dilontarkan jika kita mengasumsikan pornografi adalah anak kandung modernitas dari Barat. Asumsi itu bisa jadi terlampau menyederhanakan masalah kebudayaan dan soal yang berkaitan dengan dunia syahwat.

Lepas dari perdebatan itu dan yang tak mungkin bisa dilupakan dari sosok STA ialah idenya yang berani soal arah kemajuan budaya bagi Indonesia. STA pada tahun 1935 dengan tegas menyebutkan, Barat, ke Baratlah, Indonesia harus melihat dan belajar jika ingin maju. STA melontarkan idenya itu pada usia 27 tahun.

Pokok-pokok pemikiran STA bukan hanya mengguncang masyarakat saat itu. Para pemikir dan budayawan seangkatannya seperti Ki Hajar Dewantara dan Sanusi Pane menanggapi pemikiran STA seraya mengingatkan STA bahwa Timur adalah arah kemajuan budaya yang harus dipertahankan Indonesia mendatang.

Memikat sekali untuk mencermati catatan almarhum Mochtar Lubis tentang STA. Menurut bapak jurnalis Indonesia itu, sumbangan utama STA yang harus tercatat dalam sejarah kebudayaan Indonesia ialah polemiknya yang penuh gairah menghadapi intelektual seniornya yang hendak mempertahankan nilai kebudayaan lama sebagai landasan kemajuan Indonesia. Perdebatan antara STA dengan para penentangnya belakangan dikenal dengan istilah Polemik Kebudayaan.

Jika dikaitkan dengan persoalan arah budaya Indonesia mendatang, termasuk perdebatan keras di masyarakat mengenai bagaimana negara mengatur soal pornografi, maka peluncuran buku Sang Pujangga, 70 Tahun Polemik Kebudayaan, Menyongsong Satu Abad S. Takdir Alisjahbana di Taman Ismail Marzuki (TIM), Selasa (21/2) malam menjadi sangat relevan. Buku yang disunting A Abdul Karim Mashad bukan hanya berisi informasi mengenai karya tulis STA. Buku itu memuat juga sejumlah tulisan budayawan Indonesia yang mengkritisi pemikiran STA.

Hadir dalam peluncuran buku itu sastrawan Abdul Hadi, sejarawan Asvi Warman Adam dan para mahasiswa dan budayawan yang tampaknya sangat antusias mendiskusikan pikiran STA. Ratna Sarumpaet sempat pula membawakan puisi karya STA berjudul Menuju Ke Laut. "Kami telah meninggalkan engkau, Tasik yang tenang, tiada beriak, diteduhi gunung yang rimbun dari angin dan topan...''

Karya STA yang dibacakan Ketua Dewan Kesenian Jakarta itu seolah menunjukkan sikap STA yang tegas untuk meninggalkan tradisi budaya di Indonesia yang menurutnya antiintelektual dan antimaterialisme. Bisa jadi pendapat STA soal antiintelektual ini tepat untuk menggambarkan wajah budaya Indonesia saat ini. Wajah yang kebingungan untuk menentukan arah budaya Indonesia hingga soal pornografi pun harus diatur secara khusus dalam sebuah Undang Undang (UU), sementara UU yang sudah ada dan mengatur masalah itu tidak digunakan dengan maksimal. (Suara Pembaruan, 22 Februari 2006)

********


Pemikiran Rasional STA
Pemikiran Sutan Takdir Alisjahbana tentang Islam sangat relevan dan kontekstual dalam perkembangan Islam sekarang ini. Ia menginginkan umat Islam bisa mencapai kemajuan dan keluar dari keterbelakangan.

”Ia mengembangkan sikap rasional, memahami agama dengan cara yang rasional, mengembangkan pemikiran yang rasional. Jadi bukan pemahaman yang literal,” kata Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta Azyumardi Azra pada diskusi ”Menyongsong Satu Abad Sutan Takdir Alisjahbana” yang kerap disebut STA di Jakarta, Selasa (21/2).

Menurut Azyumardi, ada kecenderungan sekarang ini orang memahami agama secara literal, secara hitam putih. Sikap literal itulah yang menurut STA tidak kondusif untuk mencapai kemajuan.

STA menekankan pentingnya bagi orang Islam untuk mengembangkan i’tijad, berpikir secara independen untuk menjawab masalah-masalah yang ada. Meskipun STA sangat menekankan distingsi Islam, ia juga sangat menekankan bahwa Islam amat mementingkan solidaritas antarmanusia sehingga dengan begitu umat Islam bisa terhindar dari keislaman yang chauvinistik. Ia melihat dalam sejarah Islam bahwa kaum Muslimin dalam banyak hal tak segan-segan bekerja sama dengan golongan-golongan (agama) lain. Menurut STA, dalam dunia yang menjadi kecil sekarang (globalisasi), tidak boleh tidak kerja sama antarmanusia mesti diusahakan dengan sungguh-sungguh.

Asvi Warman Adam, ahli peneliti utama Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, melihat pemikiran STA lebih banyak memprovokasi kita supaya melihat ke Barat. ”Sutan Takdir Alisjahbana menganggap nilai-nilai Barat seperti individualis, materialisme, dan egoisme sebagai sesuatu yang penting sebagai api. Dia mengibaratkan orang masak nasi, jadi jangan dipadamkan apinya. Kalau di Barat, nasi (itu) sudah hampir masak, jadi api tak perlu diperbesar. Di Indonesia api itu diperlukan,” kata Asvi.

Untuk konteks masa kini, melihat atau mengambil sesuatu yang positif dari Barat, dipandang Asvi, masih sangat relevan.

Menurut Asvi, STA bersama Muhammad Yamin adalah dua pujangga yang saling melengkapi. STA menghadap ke depan dengan menyatakan kita harus mencontoh Barat untuk mengambil yang positif dari Barat, sedangkan Yamin mengajak kita kembali ke belakang saat kita pernah mengalami kejayaan pada masa lampau. (Kompas, 23 Februari 2006) ►e-ti

***

Suatu Filosofi untuk Masa Depan

Menuju Kebudayaan yang Inklusif

OLEH : SUTAN TAKDIR ALISJAHBANA

Pengantar:

Hari ini adalah peringatan 100 tahun Sutan Takdir Alisjahbana yang lahir 11 Februari 1908 di Natal, Sumatera Utara. Tulisan ini merupakan karya terakhir yang ia tulis semasa hidupnya. Pada umumnya orang mengingatnya sebagai penulis novel Layar Terkembang dan sebagai pemimpin redaksi majalah sastra dan budaya, Pudjangga Baru. Namun, sumbangan utamanya sebetulnya bukan dalam bidang sastra, melainkan dalam bidang bahasa dan kebudayaan. Ia memodernisasikan bahasa Indonesia sehingga dapat menjadi bahasa nasional negara modern yang merdeka yang ikut mempersatukan Nusantara.

Ia juga adalah pencetus Polemik Kebudayaan yang menjadi pembicaraan hangat pada tahun 1930-an. Melalui Polemik Kebudayaan ia berusaha menemukan jati diri bangsa dan membimbing pembentukan kebudayaan baru, yang dapat menjadi pemersatu penduduk Nusantara. Tak banyak yang menyadari prinsip yang melandasi segala ucapannya.

Takdir menerbitkan hampir seluruh pandangan yang berbeda-beda dalam Polemik Kebudayaan yang hampir semuanya bertentangan dengan pandangannya sendiri. Meskipun ia semangat dan terus terang dalam mengekspresikan pandangannya, ia tetap menjadi demokrat yang tidak hanya memancing pandangan yang berbeda-beda, tetapi juga menyediakan wadah untuk mengekspresikannya melalui majalah Pudjangga Baru.

Sepanjang hidupnya Takdir tak pernah berhenti dalam menyampaikan pandangannya mengenai masyarakat dan kebudayaan, namun ia juga menghargai pentingnya kebebasan berekspresi bagi mereka yang tidak sependapat dengan pandangannya. Dengan cara ini Takdir membantu mewujudkan dialog yang membentuk Indonesia. Tidak banyak orang yang melihat sisi ini dari Takdir.

Takdir memperkenalkan wacana mengenai pentingnya kita untuk menciptakan sebuah kebudayaan dunia yang inklusif. Istilah kebudayaan yang inklusif sekarang sudah menjadi populer. Takdir telah berjuang untuk itu melalui karya dan tulisannya sepanjang hidupnya dan ia menyebutnya jauh sebelum kebanyakan orang lain. (*)

Dewasa ini kecepatan transportasi dan komunikasi sebagai dampak dari perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang dahsyat menimbulkan suatu proses globalisasi di dunia yang mengakibatkan segala sesuatu tampaknya berada di depan kita dan kita tak terhindar lagi dari penyatuan bangsa dan kebudayaan di planet kita yang seolah-olah semakin menyusut.

Sepanjang sejarah, dengan bertambahnya pengetahuan serta kemampuan manusia menciptakan teknologi yang semakin canggih dan efisien, masyarakat dan budaya manusia menjadi semakin lama semakin kompleks dan luas: suku menjadi marga, marga menjadi kerajaan, dan kerajaan menjadi negara kebangsaan. Proses ini juga terlihat di dalam perkembangan persenjataan. Dengan memakai anak tombak dan panah kapasitas untuk menghancurkan musuh terbatas, manusia hanya mampu membunuh satu orang dalam sekali waktu, namun dengan penemuan bubuk mesiu dan senjata otomatis, kapasitas untuk membunuh menjadi dahsyat sebagaimana terlihat dalam peperangan abad ke-20. Namun, dengan bom atom, terlihat jelas bahwa manusia menghadapi situasi yang sama sekali baru. Sekarang perang bukan hanya mengakibatkan pembunuhan massal. Dengan senjata atom kita sudah mampu memusnahkan dunia bahkan menghapuskan seluruh umat manusia. Sangatlah jelas bahwa dalam situasi seperti ini kita harus mengubah cara pandang dan sikap kita terhadap sesama manusia.

Proses globalisasi mengakibatkan berbagai kebudayaan di dunia bertemu bukan saja di kota besar, tetapi di mana-mana dengan adanya radio, televisi, surat kabar, dan media massa. Akibatnya terjadi pertemuan dan percampuran kebudayaan yang lebih besar daripada yang pernah terjadi dalam sejarah manusia sebelumnya.

Pandangan-pandangan lama yang bersumber pada sukuisme, nasionalisme, dan eksklusivitas agama harus berubah sehingga tidak timbul konflik yang tak terkendali lagi. Kita harus mengatasi keterbatasan kita dan kontroversi dengan pihak lain melalui sikap dan pemikiran baru yang radikal. Sebuah filosofi pemahaman dan tanggung jawab yang baru dan lebih luas cakupannya harus tampil. Kita tidak minta dilahirkan di dalam suku, bangsa, atau agama tertentu. Berdasarkan sudut pandang ini situasi kita sebuah kebetulan. Saya lahir sebagai orang Indonesia, tapi saya bisa saja terlahir sebagai orang Eskimo dengan kebudayaan dan cara hidup orang Eskimo.

Dari sudut pandang ini, semua masyarakat dan kebudayaan lain merupakan bagian dari peluang dan potensi yang terbuka bagi saya. Orang yang saya pandang sebagai suku lain akan menjadi suku saya andaikata saya lahir di antara mereka.

Di zaman transportasi dan komunikasi yang pesat, orang sering pindah dan menetap di antara masyarakat dan kebudayaan lain. Maka kita perlu mengembangkan pemikiran kita sehingga kita memandang orang lain sebagai peluang dan potensi baru yang terbuka bagi kita. Kita tidak menentukan tempat kelahiran, adat istiadat, dan pendidikan kita. Melalui perkawinan dan berbagai kontak sosial dan budaya lain, melalui radio, televisi, buku, dan majalah, kita telah menjadi bagian dari orang dan masyarakat lain dan demikian pula sebaliknya.

Dalam konteks ini, tidak ada lagi konsep ”orang lain”, yang ada hanyalah satu umat manusia di atas planet yang semakin menyusut yang berada dalam bahaya kehancuran total akibat perbuatan kita sendiri melalui perkembangan ilmu dan teknologi yang dahsyat.

Saya hendak kembali kepada masa abad ke-5 SM. Pada waktu itu di China muncul Confucius, Lao-tse, Moti, dan lainnya yang meletakkan dasar kerajaan dan peradaban China. Di India terdapat Buddha Mahavira dengan para penulis Upanishad dan Kaisar Ashoka yang menyatukan daratan India. Di Timur Tengah para nabi Yahudi sedang bergelut dengan konsep keesaan Tuhan dari mana kemudian muncul agama Kristen dan Islam, sedangkan di Yunani, para filosof besar, seperti Plato dan Aristoteles, membuka jalan bagi pemikiran sekuler modern. Karl Jaspers menyebut masa abad ke-5 SM sebagai ”Achsenzeit” atau ”masa sumbu sejarah” yang sampai sekarang masih memengaruhi kehidupan kita. Alfred Weber menyimpulkan bahwa peningkatan kreativitas sosial dan budaya pada abad ke-5 SM terkait dengan pemakaian kuda sebagai alat transportasi.

Namun, kita sekarang berdiri di suatu kurun waktu yang jauh lebih hebat daripada abad ke-5 SM. Cukuplah membandingkan kecepatan kuda dan pesawat terbang. Seperti sudah dikatakan, perbatasan antarnegara menjadi hilang. Sebuah masyarakat dan kebudayaan dunia baru sedang muncul, jauh lebih besar daripada sebelumnya. Negara-negara di dunia harus membentuk suatu federasi dunia. Hanya dengan demikian dapat kita mengatasi bahaya kehancuran dunia dan umat manusia sebab negara-negara dunia tidak perlu mempersenjatai dirinya lagi.

Kita sekarang masih jauh dari keadaan seperti itu sehingga suatu sikap solidaritas universal harus dibangkitkan agar retorika eksklusivisme dapat terhapus dan digantikan oleh komunikasi kebersamaan dan solidaritas universal, yang berarti membentuk suatu kebudayaan dunia yang inklusif. (Kompas, Senin, 11 Februari 2008)

*** TokohIndonesia DotCom (Ensiklopedi Tokoh Indonesia)

Prof Dr Sapardi Djoko Damono





Nama:
Sapardi Djoko Damono
Lahir:
Solo, 20 Maret 1940
Istri:
Wardiningsih
Anak:
2 orang (Rasti Suryandani dan Rizki Henriko)
Pendidikan:
- SD, Solo (1952)
- SMP II Negeri, Solo (1955)
- SMA II Negeri, Solo (1958)
- Jurusan Sastra Inggris Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta (1964)
- Program doktor di Universitas Indonesia
- Basic Humanities Program, Honolulu, Universitas Hawaii, AS (1970-1971)
Pekerjaan:
- Pengajar IKIP Malang cabang Madiun (1964-1968)
- Pengajar Fakultas Sastra Universitas Diponegoro (1968-1974)
- Pengajar Fakultas Sastra Universitas Indonesia (berganti nama menjadi FIPB UI) (1975-sekarang)
- Guru Besar Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia (FIPB UI)
- Dosen Pascasarjana Universitas Indonesia (sekarang)
- Penyair/sastrawan
Karya-karya:
Kumpulan sajak:
- Duka-mu Abadi, Jeihan/Pustaka Jaya, 1969
- Mata Pisau, Puisi Indonesia/Balai Budaya, 1974
- Akuarium, Puisi Indonesia/Balai Pustaka, 1974
- Perahu Kertas, Balai Pustaka, 1983
- Sihir Hujan, Dewan Bahasa dan Pustaka, Malaysia, 1984
- Hujan Bulan Juni, 1994
- Arloji, 1998
- Ayat-ayat Api, 2000
- Ada Berita Apa Hari Ini, Den Sastro?, 2002
Lainnya:
- Sosiologi Sastra, Pusat Bahasa, 1978
- Novel Indonesia sebelum Perang, Pusat Bahasa, 1979
- Tifa Budaya, ed., Leppenas, 1980
- Seni dalam Masyarakat Indonesia, ed., Gramedia, 1983
- Sastra Indonesia Modern: Beberapa Catatan, Gramedia, 1983
Penghargaan:
- Penghargaan Achmad Bakrie, 14 Agustus 2003
- Anugerah Puisi Poetra Malaysia, 1996
- SEA Write di Bangkok, Thailand, 1986
- Penghargaan dari Dewan Kesenian Jakarta, 1983

Prof Dr Sapardi Djoko Damono

Sastrawan Puisi Lirik Indonesia


Prof Dr Sapardi Djoko Damono dikenal sebagai salah seorang sastrawan yang memberi sumbangan besar kepada kebudayaan masyarakat modern di Indonesia. Salah satu sumbangan terbesar Guru Besar Fakultas Sastra UI ini adalah melanjutkan tradisi puisi lirik dan berupaya menghidupkan kembali sajak empat seuntai atau kwatrin yang sudah muncul di jaman para pujangga baru seperti Amir Hamzah dan Chairil Anwar.

Pria kelahiran Solo, Jawa Tengah pada 20 Maret 1940 ini, mengaku tak pernah berencana menjadi penyair, karena dia berkenalan dengan puisi secara tidak disengaja. Sejak masih belia putra Sadyoko dan Sapariyah itu, sering membenamkan diri dalam tulisan-tulisannya. Bahkan, ia pernah menulis sebanyak delapan belas sajak hanya dalam satu malam. Kegemarannya pada sastra, sudah mulai tampak sejak ia masih duduk di bangku sekolah menengah pertama. Kemudian, ketika duduk di SMA, ia memilih jurusan sastra dan kemudian melanjutkan pendidikan di UGM, fakultas sastra.

Anak sulung dari dua bersaudara abdi dalem Keraton Surakarta itu mungkin mewarisi kesenimanan dari kakek dan neneknya. Kakeknya dari pihak ayah pintar membuat wayang—hanya sebagai kegemaran—dan pernah memberikan sekotak wayang kepada sang cucu. Nenek dari pihak ibunya gemar menembang (menyanyikan puisi Jawa) dari syair yang dibuat sendiri. “Tapi saya tidak bisa menyanyi, suara saya jelek,” ujar bekas pemegang gitar melodi band FS UGM Yogyakarta itu. Sadar akan kelemahannya, Sapardi kemudian mengembangkan diri sebagai penyair.

Selain menjadi penyair, ia juga melaksanakan cita-cita lamanya: menjadi dosen. “Jadi dosen ‘kan enak. Kalau pegawai kantor, harus duduk dari pagi sampai petang,” ujar lulusan Jurusan Sastra Barat FS&K UGM ini. Dan begitu meraih gelar sarjana sastra, 1964, ia mengajar di IKIP Malang cabang Madiun, selama empat tahun, dilanjutkan di Universitas Diponegoro, Semarang, juga selama empat tahun. Sejak 1974, Sapardi mengajar di FS UI.

Sapardi menulis puisi sejak di kelas II SMA. Karyanya dimuat pertama kali oleh sebuah surat kabar di Semarang. Tidak lama kemudian, karya sastranya berupa puisi-puisi banyak diterbitkan di berbagai majalah sastra, majalah budaya dan diterbitkan dalam buku-buku sastra. Beberapa karyanya yang sudah berada di tengah masyarakat, antara lain Duka Mu Abadi (1969), Mata Pisau dan Aquarium (1974).

Sebuah karya besar yang pernah ia buat adalah kumpulan sajak yang berjudul Perahu Kertas dan memperoleh penghargaan dari Dewan Kesenian Jakarta dan kumpulan sajak Sihir Hujan – yang ditulisnya ketika ia sedang sakit - memperoleh Anugerah Puisi Poetra Malaysia. Kabarnya, hadiah sastra berupa uang sejumlah Rp 6,3 juta saat memperoleh Anugerah Puisi Poetra Malaysia langsung dibelanjakannya memborong buku. Selain itu ia pernah memperoleh penghargaan SEA Write pada 1986 di Bangkok, Thailand.

Para pengamat menilai sajak-sajak Sapardi dekat dengan Tuhan dan kematian. “Pada Sapardi, maut atau kematian dipandang sebagai bagian dari kehidupan; bersama kehidupan itu pulalah maut tumbuh,” tulis Jakob Sumardjo dalam harian Pikiran Rakyat, 19 Juli 1984.

Bekas anggota Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) ini juga menulis esei dan kritik. Sapardi, yang pernah menjadi redaktur Basis dan kini bekerja di redaksi Horison, berpendapat, di dalam karya sastra ada dua segi: tematik dan stilistik (gaya penulisan). Secara gaya, katanya, sudah ada pembaruan di Indonesia. Tetapi di dalam tema, belum banyak.

Penyair yang pernah kuliah di Universitas Hawaii, Honolulu, AS, ini juga menulis buku ilmiah, satu di antaranya Sosiologi Sastra, Sebuah Pengantar Ringkas. (1978).

Selain melahirkan puisi-puisi, Sapardi juga aktif menulis esai, kritik sastra, artikel serta menerjemahkan berbagai karya sastra asing. Dengan terjemahannya itu, Sapardi mempunyai kontribusi penting terhadap pengembangan sastra di Tanah Air. Selain dia menjembatani karya asing kepada pembaca sastra, ia patut dihargai sebagai orang yang melahirkan bentuk sastra baru.

Dengan kepekaan dan wawasan seorang sastrawan, Sapardi ikut mewarnai karya-karya terjemahannya seperti Puisi Brasilia Modern, Puisi Cina Klasik dan Puisi Parsi Klasik yang ditulis dalam bahasa Inggris. Selain itu dia juga menerjemahkan karya asing seperti karya Hemmingway The Old Man and the Sea, Daisy Manis (Henry James), semuanya pada 1970-an. Juga, sekitar 20 naskah drama seperti Syakuntala karya Kalidasa, Murder in Cathedral karya TS Elliot, dan Morning Become Electra trilogi karya Eugene O'neil.

Sumbangsih Sapardi juga cukup besar kepada budaya dan sastra, dengan melakukan penelitian, menjadi narasumber dalam berbagai seminar dan aktif sebagai administrator dan pengajar, serta menjadi dekan Fakultas Sastra UI periode 1995-1999. Dia menjadi penggagas pengajaran mata kuliah Ilmu Budaya Dasar di fakultas sastra.

Dia menyadari bahwa menjadi seorang sastrawan tidak akan memperoleh kepuasan finansial. Kegiatan menulis adalah sebagai waktu istirahat, saat dia ingin melepaskan diri dari rutinitas pekerjaannya sehari-hari. Menikah dengan Wardiningsih, ia dikaruniai dua anak, Rasti Suryandani dan Rizki Henriko. ►mlp

Sitor Situmorang

►e-ti/kompas
Nama:
Sitor Situmorang
Lahir:
Harianboho, 2 Oktober 1924
Istri:
1. Almarhum Tiominar
2. Barbara Brouwer
Anak:
1. Retni Situmorang
2. Ratna Situmorang
3. Gulon Situmorang
4. Iman Situmorang
5. Logo Situmorang
6. Rianti Situmorang
7. Leonard Situmorang

Pendidikan:
AMS di Jakarta

Pengalaman Pekerjaan:
1. Pemimpin Redaksi “Suara Nasional
2. Wartawan Kantor Berita “Antara”
3. Wartawan Harian “Waspada”

Karya sastra:
 Surat Kertas Hijau, 1953
 Dalam Sajak, 1955
 Wajah Tak Bernama, 1955
 Drama Jalan Mutiara, 1954
 Cerpen Pertempuran dan Salju di Paris, 1956
 Terjemahan, karya John Wyndham, E Du Perron RS Maenocol,M Nijhoff.
 Zaman Baru, 1962
 Cerpen Pangeran, 1963
 Esai, Sastra Revolusioner, 1965 (tulisan ini yang menyebabkannya masuk penjara)

Karya selama di tahanan:
 Dinding Waktu, 1976
 Peta Perjalanan, 1977

Karya selama dalam pengembaraan:
 Cerpen Danau Toba, 1981
 Angin Danau, 1982
 Cerita anak-anak Gajah, Harimau dan Ikan, 1981
 Guru Simailang dan Mogliani Utusan Raja Rom, 1993
 Toba Na Sae, 1993 (esai yang mengetengahkan tinjauan sejarah dan antropologi)
 Bloem op een rots dan Oude Tijger, 1990 (diterjemahkan dan dibukukan dalam bahasa Belanda)
 To Love, To Wonder, 1996 (diterjemahkan dalam bahasa Inggris)
 Paris Ia Nuit, 2001 (diterjemahkan dalam Bahasa Perancis, Cina, Italia, Jerman, Jepang, dan Rusia)




Sitor Situmorang

'Kepala Suku' Sastrawan ‘45


Pria Batak kelahiran Harianboho, Samosir, Sumatera Utara 2 Oktober 1924 ini sudah menjadi seorang Pemimpin Redaksi harian Suara Nasional terbitan Sibolga, pada saat usianya masih sangat belia 19 tahun, di tahun 1943. Padahal, sebelumnya ia sama sekali belum pernah bersentuhan dengan profesi jurnalistik.

Sastrawan Angkatan ’45, ini kemudian bergabung dengan Kantor Berita Nasional Antara, di Pematang Siantar. Dan sejak tahun 1947, atas permintaan resmi dari Menteri Penerangan Muhammad Natsir, Sitor menjadi koresponden Waspada, sebuah harian lokal terbitan kota Medan, Sumatera Utara. Ia ditugaskan menempati pos di Yogyakarta.

Jika di kemudian hari persepsi tentang diri Sitor Situmorang identik sebagai sastrawan Angkatan ’45 yang kritis, bahkan menjadi susah memilah-milah apakah ia seorang sastrawan, wartawan, atau politisi, agaknya bermula dari kisah sukses besarnya sebagai wartawan saat berlangsung Konferensi Federal di Bandung, tahun 1947.

Hadir bermodalkan tuksedo pinjaman dari Rosihan Anwar, saat itu nama wartawan muda berusia 23 tahun, Sitor, sangat begitu fenomenal bahkan menjadi buah bibir hingga ke tingkat dunia. Ia berhasil melakukan wawancara dengan Sultan Hamid, tokoh negara federal bentukan Negeri Belanda yang sekaligus menjadi ajudan Ratu Belanda.

Sultan Hamid adalah orang yang diplot menjadi tokoh federal, tentu dengan maksud untuk memecah-belah keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) menjadi terdiri berbagai negara boneka dalam wadah negara federal.

Kisah suksesnya bukan sekedar karena berhasil menembus nara sumber Sultan Hamid. Materi wawancara itu sendirilah yang memang lebih menarik. Sebab, kepada Sultan Hamid Sitor berkesempatan menanyakan, ’bagaimana pendapatnya tentang negara Indonesia’, dan uniknya dia jawab dengan, ’oh terang Republik itu ada, dan tidak bisa dianggap tidak ada’.

Esok harinya isi wawancara itu menjadi headline dan semua kantor berita asing mengutipnya. Peristiwa ini terjadi justru sebelum konferensi resmi dimulai, sehingga sudah ada gong awal yang memantapkan eksistensi NKRI.

Ultah 80
Menjelang usia genap 80 tahun Sitor mempersiapkan perayaan ulang tahun dengan matang. Ia merayakannya di Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta, antara lain dengan memamerkan puluhan kumpulan puisi dan berbagai dokumentasi tentang kontribusinya dalam peta perjalanan sastra dan politik di Tanah Air.

Bahkan, beberapa hari sebelumnya, 27 September 2004 ia memperkenalkan karya-karya puisinya yang belum pernah dikenal orang. Apakah itu barupa puisi karya terbaru, atau puisi lama namun sama sekali belum pernah dikenal orang. Maklum, siklus kepenyairan Sitor Situmorang, yang menikah untuk yang kedua kalinya dengan seorang diplomat berkewarnegaraan Belanda Barbara Brouwer, yang memberinya satu orang anak, Leonard, sudah berbilang setengah abad lebih. Dari istri pertama almarhum Tiominar, dia mempunyai enam orang anak, yakni Retni, Ratna, Gulon, Iman, Logo, dan Rianti.

Semenjak tahun 1950-an karya-karya sastranya sudah mengalir ringan begitu saja. Sitor pada tahun 1950-an itu pulang dari Eropa sebagai wartawan, lalu memutuskan berhenti dan bergiat sebagai sastrawan. Kumpulan puisi pertamanya terbit tahun 1953, diterbitkan oleh Poestaka Rakjat pimpinan Sutan Takdir Alisjahbana (STA).

Dia begitu hafal setiap karya puisinya. Malah, beberapa orang sahabat sesama sastrawan, seperti almarhum Arifin C. Noor, W.S. Rendra, maupun sastrawan asal Madura Zawawi, menyapanya dengan melafalkan petikan puisi karya Sitor sebagai sapaan salam. Dari lafal petikan itu pula Sitor kenal siapa nama dan identitas orang yang menyapanya.

Beragam karya sastra Sitor yang sudah diterbitkan, antara lain Surat Kertas Hijau (1953), Dalam Sajak (1955), Wajah Tak Bernama (1955), Drama Jalan Mutiara (1954), cerpen Pertempuran dan Salju di Paris (1956), dan terjemahan karya dari John Wyndham, E Du Perron RS Maenocol, M Nijhoff. Karya sastra lain, yang sudah diterbitkan, antara lain puisi Zaman Baru (1962), cerpen Pangeran (1963), dan esai Sastra Revolusioner (1965).

Esai Sastra Revolusioner inilah yang mengakibatkan Sitor Situmorang harus mendekam di penjara Gang Tengah Salemba (1967-1975), Jakarta tanpa melalui proses peradilan. Ia dimasukkan begitu saja ke dalam tahanan dengan tuduhan terlibat pemberontakan. Selain karena isi esai Sastra Revolusioner sarat dengan kritik-kritik tajam, posisi mantan anggota MPRS ini ketika itu sebagai Ketua Umum Lembaga Kebudayaan Nasional (LKN) periode 1959-1965, sebuah lembaga kebudayaan di bawah naungan PNI, membuat rezim merasa berkepentingan untuk “menghentikan” kreativitas Sitor.

Karenanya ia dengan ringan menyebutkan, “Mungkin karena saya anti-Soeharto saja,” sebagai alasan kenapa ia harus mendekam di penjara Salemba selama delapan tahun berturut-turut. Hingga keluar tahanan Sitor tak pernah tahu apa kesalahannya.

Kepada Sitor tak diizinkan masuk tahanan membawa pulpen atau kertas. Namun, walau berada dalam penjara Sitor tetap berkarya. “Tidak ada orang yang bisa melarang saya untuk menulis,” ucapnya tentang keteguhan hatinya untuk tetap berkarya dalam kondisi dan situasi tertekan seberat apapun, termasuk ketika terkungkung oleh tembok-tembok beton penjara.

Ia berhasil merilis dua karya sastra, yang berhasil ia gubah selama dalam tahanan, yakni Dinding Waktu (1976) dan Peta Perjalanan (1977). Kedua karya itu diluncurkan masih dalam status Sitor tidak bebas murni 100 persen sebab ketika kemudian dibebaskan, Sitor lagi-lagi harus menjalani tahanan rumah selama dua tahun.

Sitor akhirnya memilih menetap di luar negeri, terutama Kota Paris yang disebutnya sudah sebagai desa keduanya setelah Harianboho. Harianboho, yang terletak persis di bibir-mulut pinggiran Tanau Toba nan indah, itu punya arti spesifik dalam diri Sitor. Paris yang megah boleh menjadi desa kedua. Namun Harianboho tetaplah satu-satunya kampung halaman bagi Sitor.

Sejak tahun 1981 Sitor diangkat menjadi dosen di Universitas Leiden, Belanda. Sepuluh tahun kemudian pensiun pada tahun 1991. Selama dalam pengembaraan ia tetap produktif berkarya. Maklum, menulis baginya sudah seperti berolahraga. Jika tak menulis dirasakannya badan gemetaran.

“Kalau tidak menulis badan saya malah gemetaran. Bagi saya menulis adalah olahraga”, ujar pria Batak yang walau lama mengembara di luar negeri namun masih saja selalu kental dengan logat Bataknya. Kekentalan logat ini membuat banyak orang kecele, menilai Sitor sebagai seorang yang berkesan galak dan saklijk, tak ada kompromi.

Padahal ia adalah seorang lelaki tua periang yang jarang mengeluh perihal kemampuan fisiknya yang sudah menua. Pada usai 80 tahun ia masih dengan mudah melewati lantai berundak yang terdapat di kamar tidurnya tanpa bantuan tongkat sedikitpun.

Ia malah menyebut dirinya sudah seharusnya tampil sebagai “Kepala Suku”, jika saja konsep dan sistem tata nilai lama adat Batak itu diberlakukan kembali. Kalaupun istilah dan sebutan kepala suku adat Batak sudah lama dihapus, namun, dalam dunia sastra khususnya Angkatan ’45 Sitor Situmorang tak pelak lagi adalah “Kepala Suku” Sastrawan Angkatan ’45. Bukan hanya karena ia sastrawan Angkatan ’45 yang masih hidup, namun hasil karyanya ikut menunjukkan siapa jati diri dia yang sesungguhnya.


Selama melanglang buana di berbagai negara, antara lain di Pakistan, Perancis, dan Belanda ia menghasilkan beragam karya-karya pengembaraan. Antara lain berupa cerpen Danau Toba (1981), Angin Danau (1982), cerita anak-anak Gajah, Harimau, dan Ikan (1981), Guru Simailang dan Mogliani Utusan Raja Rom (1993), Toba Na Sae (1993).

Kemudian, karya sastra esai yang mengetengahkan tinjauan sejarah dan antropologi, berjudul Bloem op een rots dan Oude Tijger (1990) yang sudah diterjemahkan dan dibukukan dalam bahasa Belanda, To Love, To Wonder (1996) diterjemahkan dalam bahasa Inggris, Paris Ia Nuit (2001) diterjemahkan dalam enam bahasa yakni Bahasa Perancis, Cina, Italia, Jerman, Jepang, dan Rusia.


Sejak tahun 2001 Sitor Situmorang kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi, Indonesia mengikuti istrinya Barbara Brouwer yang kebetulan mendapat tugas di Jakarta. Walau dua pertiga dari usianya dihabiskannya di negeri orang, para sahabat, kolega, teman sejawat, seniman, sastrawan, dan budayawan lain tidak pernah menganggap Sitor sebagai “anak yang hilang”.

Mereka, seperti Adjip Rosidi, Onghokham, Fuad Hasan, Djenar Maesa Ayu, Ramadhan KH, Richard Oh, Rieke Diah Pitaloka, Sitok Srengenge, HS. Dillon, Teguh Ostenrijk, Srihadi Soedarsono, dan Antonio Soriente, tetap menyambut hangat kepulangan Sitor Situmorang. Mereka, menganggap tak beda seperti menemukan teman yang sudah lama tak berjumpa.

Sitor memang mempunyai pergaulan yang sangat luas di mancanegara seperti di Belanda, Jerman, Italia, dan Inggris seluas pengenalan masyarakat Indonesia terhadapnya. Padahal, jika ditelisik jauh ke belakang belajar menulis bagi Sitor berlangsung secara otodidak saja selepas bersekolah AMS di Jakarta. Pilihannya menjadi penulis pun berawal dari keterlibatan dirinya sebagai wartawan Waspada sebuah harian lokal terbitan Kota Medan, Sumatera Utara.

Sebagai wartawan tahun 1950-an ia pulang dari Eropa, kemudian berhenti dan memutuskan diri menjadi penyair. Itulah awal kekreativitasan Sitor Situmorang sebagai sastrawan secara intens. Sebelumnya, tahun 1943 untuk pertama kali ia memang sudah menuliskan sebuah puisi, berjudul Kaliurang dimuat di majalah Siasat pimpinan “Sang Paus Sastra Indonesia” HB Jassin. Sedangkan, kumpulan puisi pertama Sitor Situmorang baru terbit tahun 1953, persis setelah sepulangnya dari Eropa. Ketika itu ia secara kebetulan bertemu dengan Sutan Takdir Alisjahbana (STA), yang waktu itu memiliki penerbit Pustaka Rakjat, lalu menerbitkan kumpulan puisi Sitor.


Sitor adalah salah seorang sastrawan Indonesia yang secara sadar mengatakan diri turut berpolitik. Ketika Waspada menugaskannya menempati pos di Yogyakarta, membuatnya berkesempatan berkenalan dengan “Bapak-bapak Republik”, ini istilah Sitor Situmorang sendiri untuk menyebutkan orang-orang yang dimaksudkannya seperti Bung Karno, Bung Hatta, serta para pimpinan Partai Nasional Indonesia (PNI), telah memperkaya daya juang kreativitas sastranya dengan warna baru politik. Sitor bahkan pernah diangkat menjadi anggota MPRS. ►ht, Sumber: Kompas 26 September 2004

Kho Ping Hoo (1926-1994)

Legenda Cerita Silat


Dia legenda pengarang cerita silat. Kho Ping Hoo, lelaki peranakan Cina kelahiran Sragen, Jawa Tengah, 17 Agustus 1926, yang kendati tak bisa membaca aksara Cina tapi imajinasi dan bakat menulisnya luar biasa. Selama 30 tahun lebih berkarya, dia telah menulis sekitar 400 judul serial berlatar Cina, dan 50 judul serial berlatar Jawa.

Ceritanya asli dan khas. Dia pengarang yang memiliki ide-ide besar, yang tertuang dalam napas ceritanya yang panjang. Sepertinya dia tak pernah kehabisan bahan.

Bahkan setelah dia meninggal dunia akibat serangan jantung pada 22 Juli 1994 dan dimakamkan di Solo, namanya tetap melegenda. Karya-karyanya masih dinikmati oleh banyak kalangan penggemarnya. Bahkan tak jarang penggemarnya tak bosan membaca ulang karya-karyanya.

Beberapa karyanya dirilis ulang media massa, difilmkan, disandiwararadiokan, dan di-online-kan, serta disinetronkan. Dia meninggalkan nama yang melegenda. Legenda Kho Ping Hoo, pernah menjadi sinetron andalan SCTV. Lewat penerbit CV Gema, karya-karyanya masih terus dicetak.

Kho Ping Hoo bernama lengkap Asmaraman Sukowati Kho Ping Hoo, pengarang cerita silat yang memunculkan tokoh-tokoh silat dalam ceritanya, seperti Lu Kwan Cu, Kam Bu Song, Suma Han, Kao Kok Cu, atau Wan Tek Hoat dan Putri Syanti Dewi, Cia Keng Hong, Cia Sin Liong, Ceng Thian Sin, dan Tang Hay. Serta tokoh-tokoh dalam serial paling legendaris Bu Kek Siansu dan Pedang Kayu Harum.

Dia juga banyak mengajarkan filosofi tentang kehidupan, yang memang disisipkan dalam setiap karyanya. Salah satu tentang yang benar adalah benar, dan yang salah tetap salah, meski yang melakukannya kerabat sendiri.

Kisah Keluarga Pulau Es merupakan serial terpanjang dari seluruh karya Kho Ping Hoo. Kisahnya sampai 17 judul, dimulai dari Bu Kek Siansu sampai Pusaka Pulau Es.

Penggemar cerita silat Kho Ping Hoo sangat banyak yang setia. Mereka sudah gemar membaca karya Kho Ping Hoo sejak usia 10-an tahun hingga usia di atas 50-an tahun. Mula-mula mereka senang melihat gambar komiknya. Namun, lama-lama makin tertarik cerita tulisannya. Tak jarang penggemar mengoleksi karya-karya Kho Ping Hoo, bahkan mencarinya ke bursa buku bekas di kawasan Senen.

Kho Ping Hoo, lelaki peranakan Cina kelahiran Sragen, Jawa Tengah, 17 Agustus 1926, berasal dari keluarga miskin. Dia hanya dapat menyelesaikan pendidikan kelas 1 Hollandsche Inlandsche School (HIS). Namun, ia seorang otodidak yang amat gemar membaca sebagai awal kemahirannya menulis.

Ia mulai menulis tahun 1952. Tahun 1958, cerita pendeknya dimuat oleh majalah Star Weekly. Inilah karya pertamanya yang dimuat majalah terkenal ketika itu. Sejak itu, semangatnya makin membara untuk mengembangkan bakat menulisnya.

Banyaknya cerpenis yang sudah mapan, mendorongnya memilih peluang yang lebih terbuka dalam jalur cerita silat. Apalagi, silat bukanlah hal yang asing baginya. Sejak kecil, ayahnya telah mengajarkan seni beladiri itu kepadanya. Sehingga dia terbilang sangat mahir dalam gerak dan pencak, juga makna filosofi dari tiap gerakan silat itu.


Karya cerira silat pertamanya adalah Pedang Pusaka Naga Putih, dimuat secara bersambung di majalah Teratai. Majalah itu ia dirikan bersama beberapa pengarang lainnya. Saat itu, selain menulis, ia masih bekerja sebagai juru tulis dan kerja serabutan lainnya, untuk bisa memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.

Namun, setelah cerbung silatnya menjadi populer, ia pun meninggalkan pekerjaanya sebagai juru tulis dan kerja serabutan itu, dan fokus menulis. Hebatnya, ia menerbitkan sendiri cerita silatnya dalam bentuk serial buku saku, yang ternyata sangat laris.


Hal itu membuat kreatifitasnya makin terpicu. Karya-karyanya pun mengalir deras. Cerita silatnya pun makin bervariasi. Tak hanya cerita berlatar Cina, tetapi juga cerita berlatar Jawa, di masa majapahit atau sesudahnya. Bahkan, selain secara gemilang memasukkan makna-makna filosofis, dia pun menanamkan ideologi nasionalisme dalam cerita silatnya.

Seperti kisah dalam cerita Sepetak Tanah Sejengkal Darah. Dia menyajikan cerita yang sangat membumi, akrab dengan keseharian. Juga melintasi batas agama, suku dan ras.


Kepopulerannya makin memuncak manakala merilis serial silat terpanjangnya Kisah Keluarga Pulau Es, yang mencapai 17 judul cerita, dengan ukuran panjang antara 18 sampai 62 jilid. Dimulai dari kisah Bu Kek Siansu sampai Pusaka Pulau Es.

Karya serial berlatar Jawa, yang juga terbilang melegenda antara lain Perawan Lembah Wilis, Darah Mengalir di Borobudur, dan Badai Laut Selatan. Bahkan Darah Mengalir di Borobudur, pernah disandiwararadiokan. ►e-ti/tian son lang, dari berbagai sumber

Emha Ainun Nadjib









► e-ti
Nama:
EMHA AINUN NAJIB
Lahir:
Jombang, Jawa Timur, 27 Mei 1953
Agama:
Islam
Isteri:
Novia Kolopaking

Pendidikan:
- SD, Jombang (1965)
- SMP Muhammadiyah, Yogyakarta (1968)
- SMA Muhammadiyah, Yogyakarta (1971)
- Pondok Pesantren Modern Gontor
- FE di Fakultas Filsafat UGM (tidak tamat)

Karir:
- Pengasuh Ruang Sastra di harian Masa Kini, Yogyakarta (1970)
- Wartawan/Redaktur di harian Masa Kini, Yogyakarta (1973-1976)
- Pemimpin Teater Dinasti (Yogyakarta)
- Pemimpin Grup musik Kyai Kanjeng
- Penulis puisi dan kolumnis di beberapa media

Karya Seni Teater:
• Geger Wong Ngoyak Macan (1989, tentang pemerintahan 'Raja' Soeharto),
• Patung Kekasih (1989, tentang pengkultusan),
• Keajaiban Lik Par (1980, tentang eksploitasi rakyat oleh berbagai institusi modern),
• Mas Dukun (1982, tentang gagalnya lembaga kepemimpinan modern).
• Santri-Santri Khidhir (1990, bersama Teater Salahudin di lapangan Gontor dengan seluruh santri menjadi pemain, serta 35.000 penonton di alun-alun madiun),
• Lautan Jilbab (1990, dipentaskan secara massal di Yogya, Surabaya dan Makassar),
• Kiai Sableng dan Baginda Faruq (1993).
• Perahu Retak (1992).

Buku Puisi:
• “M” Frustasi (1976),
• Sajak-Sajak Sepanjang Jalan (1978),
• Sajak-Sajak Cinta (1978),
• Nyanyian Gelandangan (1982),
• 99 Untuk Tuhanku (1983),
• Suluk Pesisiran (1989),
• Lautan Jilbab (1989),
• Seribu Masjid Satu Jumlahnya ( 1990),
• Cahaya Maha Cahaya (1991),
• Sesobek Buku Harian Indonesia (1993),
• Abacadabra (1994),
• Syair Amaul Husna (1994)

Buku Essai:
• Dari Pojok Sejarah (1985),
• Sastra Yang Membebaskan (1985)
• Secangkir Kopi Jon Pakir (1990),
• Markesot Bertutur (1993),
• Markesot Bertutur Lagi (1994),
• Opini Plesetan (1996),
• Gerakan Punakawan (1994),
• Surat Kepada Kanjeng Nabi (1996),
• Indonesia Bagian Penting dari Desa Saya (1994),
• Slilit Sang Kiai (1991),
• Sudrun Gugat (1994),
• Anggukan Ritmis Kaki Pak Kiai (1995),
• Bola- Bola Kultural (1996),
• Budaya Tanding (1995),
• Titik Nadir Demokrasi (1995),
• Tuhanpun Berpuasa (1996),
• Demokrasi Tolol Versi Saridin (1997)
• Kita Pilih Barokah atau Azab Allah (1997)
• Iblis Nusantara Dajjal Dunia (1997),
• 2,5 Jam Bersama Soeharto (1998),
• Mati Ketawa Cara Refotnasi (1998)
• Kiai Kocar Kacir (1998)
• Ziarah Pemilu, Ziarah Politik, Ziarah Kebangsaan (1998)
• Keranjang Sampah (1998) Ikrar Husnul Khatimah (1999)
• Jogja Indonesia Pulang Pergi (2000),
• Ibu Tamparlah Mulut Anakmu (2000),
• Menelusuri Titik Keimanan (2001),
• Hikmah Puasa 1 & 2 (2001),
• Segitiga Cinta (2001),
• “Kitab Ketentraman” (2001),
• “Trilogi Kumpulan Puisi” (2001),
• “Tahajjud Cinta” (2003),
• “Ensiklopedia Pemikiran Cak Nun” (2003),
• Folklore Madura (2005),
• Puasa ya Puasa (2005),
• Kerajaan Indonesia (2006, kumpulan wawancara),
• Kafir Liberal (2006)
• Jalan Sunyi EMHA (Ian L. Betts, Juni 2006)

Alamat Rumah:
Jalan Kadipaten Wetan K-11 Yogyakarta

Alamat Kantor:
Dewan Kesenian Daerah Istimewa Yogyakarta


Emha Ainun Nadjib

Kyai Kanjeng Sang Pelayan


Budayawan Emha Ainun Nadjib, kelahiran Jombang, Jawa Timur, 27 Mei 1953, ini seorang pelayan. Suami Novia Kolopaking dan pimpinan Grup Musik Kyai Kanjeng, yang dipanggil akrab Cak Nun, itu memang dalam berbagai kegiatannya, lebih bersifat melayani yang merangkum dan memadukan dinamika kesenian, agama, pendidikan politik dan sinergi ekonomi. Semua kegiatan pelayannya ingin menumbuhkan potensialitas rakyat.

Bersama Grup Musik Kiai Kanjeng, Cak Nun rata-rata 10-15 kali per bulan berkeliling ke berbagai wilayah nusantara, dengan acara massal yang umumnya dilakukan di area luar gedung. Di samping itu, secara rutin (bulanan) bersama komunitas Masyarakat Padang Bulan, aktif mengadakan pertemuan sosial melakukan berbagai dekonstruksi pemahaman atas nilai-nilai, pola-pola komunikasi, metoda perhubungan kultural, pendidikan cara berpikir, serta pengupayaan solusi-solusi masalah masyarakat.

Dalam berbagai forum komunitas Masyarakat Padang Bulan, itu pembicaraan mengenai pluralisme sering muncul. Berkali-kali Cak Nun yang menolak dipanggil kiai itu meluruskan pemahaman mengenai konsep yang ia sebut sebagai manajemen keberagaman itu.
Dia selalu berusaha meluruskan berbagai salah paham mengenai suatu hal, baik kesalahan makna etimologi maupun makna kontekstual. Salah satunya mengenai dakwah, dunia yang ia anggap sudah terpolusi. Menurutnya, sudah tidak ada parameter siapa yang pantas dan tidak untuk berdakwah. “Dakwah yang utama bukan dengan kata-kata, melainkan dengan perilaku. Orang yang berbuat baik sudah berdakwah," katanya.

Karena itulah ia lebih senang bila kehadirannya bersama istri dan kelompok musik Kiai Kanjeng di taman budaya, masjid, dan berbagai komunitas warga tak disebut sebagai kegiatan dakwah. "Itu hanya bentuk pelayanan. Pelayanan adalah ibadah dan harus dilakukan bukan hanya secara vertikal, tapi horizontal," ujarnya.

Emha merintis bentuk keseniannya itu sejak akhir 1970-an, bekerja sama dengan Teater Dinasti -- yang berpangkalan di rumah kontrakannya, di Bugisan, Yogyakarta. Beberapa kota di Jawa pernah mereka datangi, untuk satu dua kali pertunjukan. Selain manggung, ia juga menjadi kolumnis.

Dia anak keempat dari 15 bersaudara. Ayahnya, Almarhum MA Lathif, adalah seorang petani. Dia mengenyam pendidikan SD di Jombang (1965) dan SMP Muhammadiyah di Yogyakarta (1968). Sempat masuk Pondok Modern Gontor Ponorogo tapi kemudian dikeluarkan karena melakukan demo melawan pemerintah pada pertengahan tahun ketiga studinya. Kemudian pindah ke SMA Muhammadiyah I, Yogyakarta sampai tamat. Lalu sempat melanjut ke Fakultas Ekonomi UGM, tapi tidak tamat.

Lima tahun (1970-1975) hidup menggelandang di Malioboro, Yogya, ketika belajar sastra dari guru yang dikaguminya, Umbu Landu Paranggi, seorang sufi yang hidupnya misterius dan sangat memengaruhi perjalanan Emha berikutnya.

Karirnya diawali sebagai Pengasuh Ruang Sastra di harian Masa Kini, Yogyakarta (1970). Kemudian menjadi Wartawan/Redaktur di harian Masa Kini, Yogyakarta (1973-1976), sebelum menjadi pemimpin Teater Dinasti (Yogyakarta), dan grup musik Kyai Kanjeng hingga kini. Penulis puisi dan kolumnis di beberapa media.

Ia juga mengikuti berbagai festival dan lokakarya puisi dan teater. Di antaranya mengikuti lokakarya teater di Filipina (1980), International Writing Program di Universitas Iowa, AS (1984), Festival Penyair Internasional di Rotterdam, Belanda (1984) dan Festival Horizonte III di Berlin Barat, Jerman (1985).

Karya Seni Teater
Cak Nun memacu kehidupan multi-kesenian di Yogya bersama Halimd HD, networker kesenian melalui Sanggarbambu, aktif di Teater Dinasti dan mengasilkan beberapa reportoar serta pementasan drama. Di antaranya: Geger Wong Ngoyak Macan (1989, tentang pemerintahan 'Raja' Soeharto); Patung Kekasih (1989, tentang pengkultusan); Keajaiban Lik Par (1980, tentang eksploitasi rakyat oleh berbagai institusi modern); Mas Dukun (1982, tentang gagalnya lembaga kepemimpinan modern).

Selain itu, bersama Teater Salahudin mementaskan Santri-Santri Khidhir (1990, di lapangan Gontor dengan seluruh santri menjadi pemain, serta 35.000 penonton di alun-alun madiun). Lautan Jilbab (1990, dipentaskan secara massal di Yogya, Surabaya dan Makassar); dan Kiai Sableng dan Baginda Faruq (1993).

Juga mementaskan Perahu Retak (1992, tentang Indonesia Orba yang digambarkan melalui situasi konflik pra-kerajaan Mataram, sebagai buku diterbitkan oleh Garda Pustaka), di samping Sidang Para Setan, Pak Kanjeng, Duta Dari Masa Depan.

Dia juga termasuk kreatif dalam menulis puisi. Terbukti, dia telah menerbitkan 16 buku puisi: “M” Frustasi (1976); Sajak-Sajak Sepanjang Jalan (1978); Sajak-Sajak Cinta (1978); Nyanyian Gelandangan (1982); 99 Untuk Tuhanku (1983); Suluk Pesisiran (1989); Lautan Jilbab (1989); Seribu Masjid Satu Jumlahnya ( 1990); Cahaya Maha Cahaya (1991); Sesobek Buku Harian Indonesia (1993); Abacadabra (1994); dan Syair Amaul Husna (1994)

Selain itu, juga telah menerbitkan 30-an buku esai, di antaranya: Dari Pojok Sejarah (1985); Sastra Yang Membebaskan (1985); Secangkir Kopi Jon Pakir (1990); Markesot Bertutur (1993); Markesot Bertutur Lagi (1994); Opini Plesetan (1996); Gerakan Punakawan (1994); Surat Kepada Kanjeng Nabi (1996); Indonesia Bagian Penting dari Desa Saya (1994); Slilit Sang Kiai (1991); Sudrun Gugat (1994); Anggukan Ritmis Kaki Pak Kiai (1995); Bola- Bola Kultural (1996); Budaya Tanding (1995); Titik Nadir Demokrasi (1995); Tuhanpun Berpuasa (1996); Demokrasi Tolol Versi Saridin (1997); Kita Pilih Barokah atau Azab Allah (1997);

Iblis Nusantara Dajjal Dunia (1997); 2,5 Jam Bersama Soeharto (1998); Mati Ketawa Cara Refotnasi (1998); Kiai Kocar Kacir (1998); Ziarah Pemilu, Ziarah Politik, Ziarah Kebangsaan (1998); Keranjang Sampah (1998); Ikrar Husnul Khatimah (1999); Jogja Indonesia Pulang Pergi (2000); Ibu Tamparlah Mulut Anakmu (2000); Menelusuri Titik Keimanan (2001); Hikmah Puasa 1 & 2 (2001); Segitiga Cinta (2001); “Kitab Ketentraman” (2001); “Trilogi Kumpulan Puisi” (2001); “Tahajjud Cinta” (2003); “Ensiklopedia Pemikiran Cak Nun” (2003); Folklore Madura (2005); Puasa ya Puasa (2005); Kerajaan Indonesia (2006, kumpulan wawancara); Kafir Liberal (2006); dan, Jalan Sunyi EMHA (Ian L. Betts, Juni 2006).


Pluralisme
Cak Nun bersama Grup Musik Kiai Kanjeng dengan balutan busana serba putih, ber-shalawat (bernyanyi) dengan gaya gospel yang kuat dengan iringan musik gamelan kontemporer di hadapan jemaah yang berkumpul di sekitar panggung Masjid Cut Meutia. Setelah shalat tarawih terdiam, lalu sayup-sayup terdengar intro lagu Malam Kudus. Kemudian terdengar syair, "Sholatullah salamullah/ ’Ala thoha Rasulillah/ Sholatullah salamullah/ Sholatullah salamullah/ ’Ala yaasin Habibillah/ ’Ala yaasin Habibillah..."

Tepuk tangan dan teriakan penonton pun membahana setelah shalawat itu selesai dilantunkan. "Tidak ada lagu Kristen, tidak ada lagu Islam. Saya bukan bernyanyi, saya ber-shalawat," ujarnya menjawab pertanyaan yang ada di benak jemaah masjid.

Tampaknya Cak Nun berupaya merombak cara pikir masyarakat mengenai pemahaman agama. Bukan hanya pada Pagelaran Al Quran dan Merah Putih Cinta Negeriku di Masjid Cut Meutia, Jakarta, Sabtu (14/10/2006) malam, itu ia melakukan hal-hal yang kontroversial. Dalam berbagai komunitas yang dibentuknya, oase pemikiran muncul, menyegarkan hati dan pikiran.

Perihal pluralisme, sering muncul dalam diskusi Cak Nun bersama komunitasnya. "Ada apa dengan pluralisme?" katanya. Menurut dia, sejak zaman kerajaan Majapahit tidak pernah ada masalah dengan pluralisme.

"Sejak zaman nenek moyang, bangsa ini sudah plural dan bisa hidup rukun. Mungkin sekarang ada intervensi dari negara luar," ujar Emha. Dia dengan tegas menyatakan mendukung pluralisme. Menurutnya, pluralisme bukan menganggap semua agama itu sama. Islam beda dengan Kristen, dengan Buddha, dengan Katolik, dengan Hindu. “Tidak bisa disamakan, yang beda biar berbeda. Kita harus menghargai itu semua," tutur budayawan intelektual itu. ►e-ti

Ditepuk air di dulang, tepercik muka sendiri

Ditepuk air di dulang, tepercik muka sendiri

Dulang ialah talam (baki) dari kayu atau tembaga. Air di dulang diumpamakan anggota keluarga. Ditepuk diumpamakan sebagai aib keluarga yang diceritakan kepada orang lain. Jika ada air di dulang, kemudian air itu ditepuk, air itu dapat mengenai (memerciki) muka orang yang menepuk air itu. Jadi, peribahasa itu mempunyai arti orang yang menceritakan aib keluarganya sendiri yang membuat malu diri sendiri.

Lafal Bahasa Indonesia Baku

Hans Lapoliwa
Pusat Bahasa

Sebagai bahasa yang hidup, bahasa Indonesia telah dan akan terus mengalami perubahan sejalan dengan perkembangan masyarakat pemakainya. Luasnya wilayah pemakaian bahasa Indonesia dan keanekaragaman penuturnya serta cepatnya perkembangan masyarakat telah mendorong berkembangnya berbagai ragam bahasa Indonesia dewasa ini. Kenyataan bahwa bahasa Indonesia digunakan oleh kelompok-kelompok masyarakat penutur yang berbeda latar belakangnya baik dari segi geografis maupun dari segi sosial menyebabkan munculnya berbagai ragam kedaerahan (ragam regional) dan sejumlah ragam sosial.

Salah satu jenis ragam sosial yang bertalian dengan pokok bahasan makalah ini adalah ragam bahasa Indonesia yang lazim digunakan oleh kelompok yang menganggap dirinya terpelajar. Ragam ini diperoleh melalui pendidikan formal di sekolah. Karena itu, ragam ini lazim juga disebut ragam bahasa (Indonesia) sekolah. Ragam ini juga disebut ragam (bahasa) tinggi. Dalam kaitan ini patut dicatat bahwa bahasa Melayu yang diikrarkan sebagai bahasa Indonesia pada tanggal 28 Oktober 1928 tentulah ragam bahasa Melayu Tinggi pada waktu itu. Ragam bahasa kaum terpelajar itu biasanya dianggap sebagai tolok untuk pemakaian bahasa yang benar. Oleh karena itulah maka ragam bahasa sekolah itu disebut juga (ragam) bahasa baku (lihat Alwi et al. 1993). Mengingat ragam bahasa baku itu digunakan untuk keperluan berbagai bidang kehidupan yang penting, seperti penyelenggaraan negara dan pemerintahan, penyusunan undang-undang, persidangan di pengadilan, persidangan di DPR dan MPR, penyiaran berita melalui media elektronik dan media cetak, pidato di depan umum, dan, tentu saja, penyelenggaraan pendidikan, maka ragam bahasa baku cenderung dikaitkan dengan situasi pemakaian yang resmi. Dengan kata lain, penggunaan ragam baku menuntut penggunaan gaya bahasa yang formal.

Dalam hubungan dengan gaya itu, perlu dicatat perbedaan ragam bahasa lisan dan ragam bahasa tulisan. Dari segi gaya, ragam bahasa tulisan cenderung kata-katanya lebih terpilih dan kalimat-kalimatnya lebih panjang-panjang, tetapi lebih tertata rapi. Dengan kata lain, persoalan lafal yang menjadi persoalan pokok makalah ini tidak berkaitan langsung dengan perbedaan ragam bahasa Indonesia lisan dan ragam bahasa Indonesia tulisan. Lafal bahasa Indonesia yang dipersoalkan dalam makalah ini adalah lafal (baku) yang dianggap baik untuk digunakan ketika berbahasa Indonesia baku dengan memakai bunyi sebagai sarananya baik dengan cara berbicara maupun dengan cara membaca.

Atas dasar uraian singkat di atas pembicaraan dalam makalah ini akan meliputi pokok-pokok
(1) ciri-ciri lafal baku bahasa Indonesia
(2) fungsi lafal baku bahasa Indonesia
(3) faktor penunjang dan penghambat pertumbuhan lafal baku
(4) upaya pembakuan lafal bahasa Indonesia

1. Ciri-Ciri Lafal Baku Bahasa Indonesia
Di atas telah disinggung bahwa bahasa baku baik ragam lisan maupun tulisan selalu dikaitkan dengan bahasa sekolah yang juga disebut ragam tinggi. Ragam bahasa tinggi ini lazim digunakan oleh mereka yang menganggap dirinya terpelajar. Salah satu ciri yang menonjol bahasa kaum terpelajar ini, yang menyangkut lafal, adalah bahwa sistem bunyinya lebih kompleks dibandingkan dengan sistem bunyi yang dimiliki kaum tak-terpelajar. Bahasa kaum terpelajar cenderung mempunyai khasanah bunyi yang lebih banyak. Karena itu, kaum terpelajar cenderung membedakan kata seni dari zeni, kata pak dari vak, kata sarat dari syarat, kata kas dari khas, dan kata teras (rumah) dari teras (dalam arti inti) sedangkan kaum tidak terpelajar cenderung tidak membedakan pasangan-pasangan kata itu dalam berbicara.

Bahasa kaum terpelajar juga cenderung mempunyai kaidah fonotaktis yang lebih rumit. Kaum terpelajar akan mengacu kumpulan bangunan sejenis di suatu tempat sebagai kompleks, aksi-aksi mahasiswa yang menuntut reformasi sebagai demonstrasi, dan olahraga konglomerat yang dilakukan di padang-padang bekas kebun teh dan sawah rakyat sebagai golf, sementara kelompok tidak terpelajar cenderung akan mengacunya masing-masing sebagai komplek, demonstrasi, dan golop, paling tidak, dalam berbahasa lisan.

Selain khasanah bunyi yang lebih banyak dan kaidah fonotaktis yang menyatakan kombinasi-kombinasi bunyi yang lebih kompleks, bahasa kaum terpelajar cenderung juga berbeda dari bahasa kaum tak-terpelajar dalam hal kaidah pemberian tekanan pada kata. Bahasa kaum terpelajar cenderung memperlihatkan kaidah tekanan yang lebih teratur dan lebih berdasar daripada bahasa kaum tak-terpelajar. Perbedaan lafal akibat perbedaan kaidah penempatan tekanan antara kedua kelompok penutur bahasa Indonesia itu akan lebih tajam bila kata-kata itu berada dalam untaian kalimat. Bandingkan kolom A dan B berikut (suku kata yang mendapat tekanan dinyatakan dengan kapital).


A B
1 memBAca memBAca

membaCAkan memBAcakan

membacaKANnya memBAcakannya; membaCAkannya
2 terBANG TERbang

menerBANGkan meNERbangkan

menerbangKANnya meNERbangkannya; menerBANGkannya

Pada contoh di atas tampak bahwa kaum terpelajar secara taat asas menempatkan tekanan pada suku kata kedua dari akhir (Kolom A) kecuali bila suku kata kedua itu mengandung vokal e pepet (/ /), sedangkan kelompok tak-terpelajar cenderung menempatkan tekanan pada bentuk dasar pada suku yang tetap atau pada suku ketiga dari akhir (Kolom B), tanpa memperdulikan apakah suku tersebut mengandung e pepet atau tidak.

Pada umumnya aspek-aspek bunyi dan tekanan yang memperbedakan ragam bahasa baku (ragam bahasa kaum terpelajar) dengan ragam bahasa tak-baku (ragam bahasa kaum tak-terpelajar) bersumber pada perbedaan sistem bunyi bahasa Indonesia dengan bahasa ibu para penutur yang cenderung menghasilkan ragam regional bahasa Indonesia yang lazim disebut logat atau aksen. Sejalan dengan itu, Abercrombie (1956) menulis bahwa ragam bahasa baku adalah ragam bahasa yang paling sedikit memperlihatkan ciri kedaerahan. Hubungan antara ragam kedaerahan dengan ragam baku, termasuk lafalnya, digambarkan oleh Trudgill (1975) seperti berikut.

Gambar itu memperlihatkan bahwa ragam baku (termasuk lafal baku) termasuk ragam sosial yang tinggi. Makin tinggi pendidikan seseorang cenderung akan meningkatkan status sosial seseorang--termasuk meningkatkan mutu bahasanya. Khasanah bunyi beserta kaidah-kaidah yang mengatur distribusi bunyi-bunyi itu, termasuk kombinasi-kombinasi bunyi dalam kata yang diperbolehkan oleh kaidah fonotaktik, dan kaidah penempatan tekanan pada kata-kata bahasa Indonesia ragam baku dapat dilihat di dalam Alwi et al. (1998).

2. Fungsi Lafal Baku Bahasa Indonesia
Lafal merupakan perwujudan kata-kata dalam bentuk untaian-untaian bunyi. Lafal merupakan aspek utama penggunaan bahasa secara lisan. Dalam hubungan itu, lafal baku dapat dipandang sebagai perwujudan ragam bahasa baku dalam bentuk untaian bunyi ketika berlangsung komunikasi verbal secara lisan yang menuntut penggunaan ragam baku. Persoalannya adalah peristiwa komunikasi lisan apa saja yang menuntut penggunaan ragam baku. Kridalaksana (1975) mencatat empat fungsi bahasa yang menuntut penggunaan ragam baku, yaitu (1) komunikasi resmi, (2) wacana teknis, (3) pembicaraan di depan umum, dan (4) pembicaraan dengan orang yang dihormati. Dari empat fungsi bahasa yang menuntut ragam baku itu, hanya dua yang terakhir yang langsung berkaitan dengan komunikasi verbal secara lisan. Dengan kata lain, lafal baku perlu digunakan dalam pembicaraan di depan umum, seperti kuliah, ceramah, khotbah, pidato, dsb. atau dalam pembicaraan dengan orang yang dihormati seperti pembicaraan dengan atasan, dengan guru, dengan orang yang baru dikenal dsb.

Di atas telah kita lihat bahwa ragam bahasa baku dianggap sebagai ragam bahasa yang baik yang cocok untuk keperluan komunikasi verbal yang penting, yang menjadi tolok untuk pemakaian bahasa yang benar, dan yang bergengsi serta berwibawa. Dalam hubungan dengan fungsi sosial bahasa baku itu, Moeliono (1975) mencatat empat fungsi pokok, yaitu
(1) fungsi pemersatu,
(2) fungsi penanda kepribadian,
(3) fungsi penanda wibawa, dan
(4) fungsi sebagai kerangka acuan.

Dengan demikian, lafal baku--sebagai perwujudan bahasa baku secara fonetis--mempunyai fungsi sosial sebagai
(1) pemersatu,
(2) penanda kepribadian,
(3) penanda wibawa, dan
(4) sebagai kerangka acuan.

Pengikraran bahasa Melayu (tinggi) sebagai bahasa Indonesia 70 tahun lalu merupakan peristiwa bersejarah yang sangat penting dalam proses perkembangan bangsa Indonesia yang bersatu. Sulit untuk dibayangkan apa yang akan terjadi dengan bangsa Indonesia yang terdiri atas ratusan suku bangsa dengan latar belakang kebahasaan yang ratusan pula dan menyebar di kepulauan Nusantara yang luas ini jika tidak ada satu bahasa sebagai alat komunikasi antara satu dengan lain. Kehadiran suatu lafal baku yang perlu digunakan sebagai tolok dalam berbahasa lisan pada peristiwa-peristiwa tutur resmi yang melibatkan pendengar dari berbagai kelompok suku tentulah merupakan suatu keharusan.

Fungsi kepribadian lafal baku akan tampak bila kita terlibat dalam pergaulan antarbangsa. Melalui bahasa lisan seseorang, kita dapat mengenal apakah dia menggunakan logat asing ataukah logat baku. Orang asing yang belajar bahasa Indonesia dapat saja mencapai penguasaan bahasa Indonesia yang sangat baik namun itu biasanya terbatas pada bahasa tulisan. Atau, kemungkinan lain, dapat saja kita terlibat dalam percakapan dengan bangsa serumpun, misalnya dengan orang Malaysia atau Brunei Darussalam. Dari segi perawakan tentu sulit untuk membedakan satu sama lain, tetapi melalui logat/dialek yang digunakan kita dapat mengenal apakah seseorang termasuk bangsa Indonesia atau tidak.

Fungsi penanda wibawa lafal baku merupakan suatu fungsi yang mempunyai nilai sosial yang tinggi dalam suatu masyarakat. Kemampuan seseorang dalam menggunakan lafal baku cenderung akan ditafsirkan bahwa orang itu adalah orang terpelajar dan karena itu patut disegani. Kewibawaan lafal baku tampak jelas dalam pergaulan sehari-hari. Dalam senda gurau tidak pernah kita mendengar lafal baku dijadikan bahan olok-olok. Pada umumnya yang kita dengar adalah logat (lafal) yang bersifat kedaerahan.

Fungsi lafal baku sebagai kerangka acuan berarti bahwa lafal baku dengan perangkat kaidahnya menjadi ukuran atau patokan dalam berbahasa Indonesia secara lisan pada situasi-situasi komunikasi yang resmi.

3. Faktor Penunjang dan Penghambat Pertumbuhan Lafal Baku
Dengan faktor pendukung pertumbuhan lafal baku di sini dimaksudkan semua faktor yang dianggap memberikan dampak positif terhadap kehadiran lafal baku bahasa Indonesia. Sebaliknya, faktor penghambat pertumbuhan lafal baku adalah semua faktor yang dianggap memberikan dampak negatif terhadap pertumbuhan/kehadiran lafal baku bahasa Indonesia. Oleh karena itu, pembicaraan pada seksi ini akan mencoba mengidentifikasi beberapa isu atau masalah yang bertalian dengan lafal baku kemudian melihat apa segi positifnya dan apa segi negatifnya. Masalah yang bertalian dengan lafal baku yang akan disorot dalam hubungan ini meliputi
(1) isu persatuan dan kesatuan,
(2) isu pendidikan,
(3) isu kesempatan kerja,
(4) isu keunggulan bahasa baku, dan
(5) isu demokrasi dalam bahasa.

a. Isu Persatuan dan Kesatuan
Kondisi Indonesia sebagai negara kepulauan yang dihuni oleh ratusan suku bangsa dengan bahasa yang berbeda-beda jelas merupakan tantangan berat dalam rangka mempersatukan bangsa Indonesia ini. Adanya satu bahasa sebagai alat untuk mempersatukan bangsa Indonesia yang bhineka itu merupakan suatu keharusan. Hal ini disadari benar oleh para pemuda yang hadir dalam Kongres Pemuda II yang melahirkan Sumpah Pemuda pada tanggal 28 Oktober 1928. Melalui Sumpah Pemuda tersebut, bahasa Melayu diikrarkan sebagai bahasa persatuan dengan nama bahasa Indonesia. Walaupun tidak ada catatan yang menyebutkan secara eksplisit ragam bahasa Melayu mana yang dinobatkan sebagai bahasa Indonesia itu, dapat dipastikan bahwa bukan ragam bahasa Melayu pasar. Ragam bahasa Melayu yang dinobatkan sebagai bahasa persatuan melalui Sumpah Pemuda itu tentulah ragam bahasa Melayu Tinggi karena ragam inilah yang diajarkan di sekolah-sekolah, terutama sekolah-sekolah kebangsaan. Bersamaan dengan pengikraran ragam bahasa Melayu Tinggi sebagai bahasa Indonesia, Sumpah Pemuda itu juga secara serta-merta menobatkan lafal bahasa Melayu Tinggi sebagai lafal baku.

Fungsi bahasa Indonesia baku, termasuk lafalnya, sebagai alat pemersatu bangsa secara umum dapat dikatakan telah berjalan dengan baik. Hampir sebagian besar bangsa Indonesia telah dapat mengerti bahasa Indonesia. Namun, di sisi lain penetapan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan telah pula mengakibatkan sebagian masyarakat yang belum menguasai atau dianggap belum mahir berbahasa Indonesia secara tidak sadar telah menciptakan pengotak-ngotakan masyarakat bangsa ini atas yang mahir berbahasa Indonesia dan yang tidak mahir berbahasa Indonesia. Upaya untuk mengendalikan pertumbuhan bahasa melalui perencanaan bahasa sesungguhnya merupakan upaya perencanaan perbedaan antara yang mahir dan yang kurang mahir berbahasa Indonesia termasuk lafalnya.

b. Isu Pendidikan
Salah satu alasan yang sering dikemukakan dalam hubungan dengan upaya penetapan suatu ragam bahasa baku adalah pendidikan. Penyelenggaraan pendidikan di sekolah tentulah menuntut adanya bahasa pengantar yang dikuasai oleh guru dan murid. Pengembangan bahan-bahan ajar tentulah memerlukan satu bahasa demi penghematan. Adalah tidak ekonomis untuk menyediakan buku yang berbeda-beda dari segi bahasa bagi kelompok-kelompok yang berbeda bahasa seperti Indonesia. Ini tidak hanya mahal dari segi finansial tetapi juga mahal dari segi ketenagaan. Dalam hubungan dengan penyelenggaraan pendidikan ini, peranan lafal baku sangat penting karena ragam bahasa yang digunakan sebagian besar adalah ragam lisan. Kegagalan seseorang menguasai lafal baku cenderung akan berakibat kegagalan dalam mencapai manfaat pendidikan di sekolah yang optimal.

Isu pendidikan berkenaan dengan lafal baku itu baru akan menjadi persoalan bila sekolah memang menuntut penggunaan lafal baku. Murid yang tidak mahir menggunakan lafal baku cenderung akan dinilai "kurang berhasil" dalam mengikuti pendidikan. Kekurangberhasilan murid itu akan tampak menonjol dalam hal-hal yang menuntut penggunaan bahasa lisan seperti bercakap-cakap, menjawab pertanyaan secara lisan, menerangkan sesuatu, dan membaca bersuara.

c. Isu Kesempatan Kerja
Alasan lain yang biasa dikemukakan dalam usaha penetapan suatu bahasa baku termasuk lafal baku bertalian dengan kesempatan kerja. Prof. Emil Salim (1983) melaporkan bahwa hasil Sensus 1980 menunjukkan adanya hubungan positif antara penguasaan bahasa Indonesia dengan kesempatan kerja. Pendapatan per kapita rata-rata (GNP) yang menguasai bahasa Indonesia lebih tinggi daripada GNP kelompok masyarakat yang kurang menguasai bahasa Indonesia. Rendahnya GNP kelompok yang kurang menguasai bahasa Indonesia itu pastilah tidak berkaitan langsung dengan kemampuan intelektual atau keterampilan mereka. Kemungkinan besar perbedaan GNP itu lebih banyak ditentukan oleh kesan pertama yang didapatkan oleh para penyaring calon pekerja melalui lamaran tertulis dan atau wawancara dengan pencari kerja tersebut. Ketidaklancaran komunikasi antara calon pekerja dengan penyaring calon pekerja cenderung ditafsirkan sebagai ketidakmampuan tenaga pencari kerja tersebut untuk melaksanakan beban kerja lowongan yang ada.

Di sini lagi-lagi isu bahasa baku, termasuk lafal baku, dapat menjadi masalah jika ragam bahasa baku itu dijadikan sebagai suatu prasyarat untuk bisa diterima sebagai tenaga kerja dalam suatu lembaga atau perusahaan. Buruh-buruh di suatu pabrik atau perkebunan serta pesuruh, tukang kebun, dan tenaga administrasi rendahan di kantor-kantor tidak perlu dipersyaratkan menguasai bahasa Indonesia baku secara lisan dan tertulis sama baik dengan mandor atau kepala bagian di kantor-kantor.

d. Isu Keunggulan Bahasa Baku
Di atas telah disinggung bahwa ragam bahasa baku cenderung dinilai sebagai bahasa yang bergengsi yang lebih baik daripada ragam lain atau ragam kedaerahan. Sentimen sosial yang melekat pada ragam baku itu cenderung ditafsirkan bahwa ragam bahasa baku lebih unggul daripada ragam kedaerahan dalam hal daya ungkapnya. Ragam bahasa baku (ragam tinggi) dianggap mampu mengungkapkan berbagai konsep ilmu pengetahuan dan teknologi modern, sedangkan ragam kedaerahan tidak.

Dalam hal-hal tertentu anggapan itu memang benar, tetapi itu terjadi karena ragam baku memang sengaja dikembangkan secara khusus untuk keperluan itu, terutama dalam hal peristilahannya. Secara teoretis, ragam apa pun yang digunakan asal tersedia perangkat istilah untuk bidang-bidang yang dipercakapkan tentulah bisa. Para ahli ilmu bahasa sudah sejak lama menerima pandangan bahwa semua bahasa di dunia ini sama baiknya. Apa yang bisa diungkapkan dalam satu bahasa pastilah dapat diungkapkan dalam bahasa lain walaupun dengan cara yang lebih panjang. Dalam kaitan ini, pandangan bahwa ragam bahasa baku lebih unggul dari ragam kedaerahan terletak pada kehematan dalam pengungkapan saja.

e. Isu Demokrasi dalam Bahasa
Penilaian ragam bahasa baku sebagai ragam yang berwibawa dan bergengsi dengan segala konotasinya telah menjadi salah satu alasan mengapa perlu ada ragam baku dan bahwa setiap warga negara perlu diberi kesempatan yang sama untuk mempelajari dan menguasai ragam bahasa baku, termasuk lafal baku itu.

Dalam negara seperti Indonesia yang warganya terdiri atas ratusan kelompok etnis dengan bahasa daerah yang beratus pula tentulah keinginan untuk memberi kesempatan yang sama untuk menguasai bahasa Indonesia (baku) merupakan suatu keharusan. Masalah yang timbul berkaitan dengan isu demokrasi dalam bahasa ini adalah bahwa tidak jarang murid mendapat hambatan dalam menggapai kemajuan dalam pendidikannya akibat ragam bahasa Indonesia baku yang belum dikuasainya dengan baik. Acapkali dapat terjadi seseorang menjadi segan, dan mungkin berkembang menjadi benci, berbicara karena dikritik atau diperolok-olokkan baik oleh guru maupun oleh teman-temannya. Apabila tekanan-tekanan psikologis seperti itu dialami oleh murid, maka dapat dipastikan bahwa dia tidak akan mencapai hasil yang memuaskan di dalam pendidikannya. Untuk menghindari tekanan-tekanan psikologis yang bisa diakibatkan ketidakmampuan menguasai ragam bahasa baku itu, maka murid dapat pula menuntut hak bahasa lainnya, yaitu untuk belajar di dalam dialeknya sendiri sebagaimana disuarakan oleh UNESCO belakangan ini walaupun konsekuensinya jauh lebih tidak menguntungkan dilihat dari kepentingan bangsa.

4. Upaya Pembakuan Lafal Bahasa Indonesia
Adanya ragam baku, termasuk lafal baku, untuk bahasa Indonesia merupakan tuntutan Sumpah Pemuda dan UUD 1945. Pengikraran bahasa Melayu sebagai bahasa persatuan dengan nama bahasa Indonesia menuntut setiap orang Indonesia untuk bisa berkomunikasi satu sama lain baik secara lisan maupun secara tertulis dalam bahasa persatuan. Penetapan bahasa Indonesia sebagai bahasa negara berarti bahwa segala bentuk kegiatan dalam penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara dilakukan dalam bahasa Indonesia. Semua kegiatan komunikasi verbal dalam bahasa Indonesia itu, secara lisan atau secara tertulis, hanya akan mencapai hasil yang baik jika ada semacam rujukan yang dimiliki bersama--dalam hal ini ragam baku bahasa Indonesia. Untuk keperluan berbahasa lisan tentu saja dibutuhkan lafal baku. Upaya pembakuan lafal bahasa Indonesia pada dasarnya dapat dilaksanakan dengan dua jalur
(1) jalur sekolah dan
(2) jalur luar sekolah.

a. Pembakuan Lafal melalui Jalur Sekolah
Upaya pembakuan lafal bahasa Indonesia sebenarnya telah dimulai jauh sebelum bahasa Indonesia diikrarkan sebagai bahasa persatuan 70 tahun lalu. Upaya pembakuan itu dimulai di sekolah-sekolah yang mengajarkan atau memakai bahasa Melayu. Kehadiran Ejaan van Ophuijsen tahun 1901 telah meletakkan dasar yang kokoh bagi pertumbuhan lafal bahasa Melayu Tinggi yang kemudian dinobatkan sebagai bahasa Indonesia oleh Kongres Pemuda II tanggal 28 Oktober 1928. Melalui tulisan yang diajarkan di sekolah-sekolah, murid-murid mulai membentuk lafal baku. Melalui tulisan yang mereka pelajari, mereka belajar mengucapkan kata-kata tertulis seperti ada, apa, dan mana, sebagaimana dituliskan dan bukan sebagai [ad ], [ap ], dan [man ] seperti kita dengar dalam bahasa Melayu Riau hingga dewasa ini.

Pembakuan lafal melalui sekolah pada umumnya dilakukan secara pasif. Guru tidak secara khusus melatih para murid untuk menggunakan lafal baku. Murid belajar lafal baku melalui apa yang didengarnya dari guru dan, pada tahap tertentu, dari sesama murid. Melalui pelajaran baca-tulis, murid dapat mengetahui nilai (fonetis) untaian huruf yang digunakan untuk menuliskan kata-kata Indonesia. Peranan guru dalam upaya pembinaan lafal bahasa baku sangatlah besar. Untuk dapat melaksanakan upaya pembinaan lafal baku itu guru hendaklah mempersiapkan diri sebaik mungkin dengan memperhatikan hal-hal berikut.

(1) Guru haruslah menyadari bahwa lafalnya merupakan model atau kerangka acuan bagi murid-muridnya. Karena itu, hendaklah guru mempersiapkan diri sebaik-baiknya. Pengetahuan fonologi akan banyak membantu tugasnya.
(2) Guru perlu mengetahui aspek-aspek fonologi yang khas di daerah tempatnya mengajar agar dapat mengetahui bunyi-bunyi yang sukar bagi murid-muridnya. Di daerah Tapanuli dan sebagian besar Indonesia bagian timur, vokal / / cenderung diganti dengan /e/. Di Aceh, Jawa, dan Bali bunyi /t/ cenderung diganti dengan bunyi retrofleks /t/.
(3) Guru hendaklah menyadari bahwa (ragam) bahasa menjadi lambang kelompok sosial. Karena itu guru perlu menghargai logat murid-muridnya. Apabila murid merasa direndahkan karena ketidak-mampuannya berbahasa Indonesia dengan lafal baku sebagai akibat pengaruh logat/bahasa ibunya, maka ia cenderung menolak apa saja yang berbau lafal bahasa Indonesia baku.

b. Pembakuan Lafal melalui Jalur Luar Sekolah
Di atas telah disinggung bahwa lafal baku sebagai perwujudan ragam bahasa baku mempunyai nilai sosial yang tinggi. Oleh karena itu, di banyak tempat di dunia itu acapkali ragam bahasa para penutur dari kalangan kelas sosial atas sering dijadikan acuan atau model. Hal ini terlihat jelas di Indonesia. Ketika presiden sering terdengar mengucapkan -kan sebagai [k n] maka banyak orang yang latah ikut-ikutan mengucapkan [-k n] walaupun mereka bukan dari suku Jawa. Untuk bisa memberikan model lafal yang baik kepada masyarakat perlu diperhatikan hal-hal berikut.

(1) Setiap pemimpin dan tokoh masyarakat yang biasa dalam tugasnya berhadapan langsung dengan rakyat perlu berusaha menggunakan lafal baku.
(2) Para penyiar radio dan televisi hendaklah memberikan model yang baik bagi para pendengar khususnya dalam pembicaraan yang bersifat resmi, seperti pembacaan berita atau wawancara resmi dengan tokoh-tokoh masyarakat. Peranan televisi dan radio itu sangat besar dalam pembentukan lafal bahasa Indonesia yang ada dewasa ini.

5. Penutup
Pada seksi 3 di atas telah disinggung sejumlah aspek positif dan aspek negatif kehadiran ragam baku, termasuk lafal baku. Perdebatan itu mungkin hanya relevan bagi masyarakat yang monolingual atau paling tidak jumlah bahasanya sedikit. Bagi Indonesia yang penduduknya menggunakan ratusan bahasa daerah dan tersebar di ribuan kepulauan, kehadiran suatu bahasa baku, termasuk lafal baku bukan hanya perlu tetapi suatu keharusan. Upaya untuk menentang pembakuan bahasa Indonesia sama artinya mengkhianati Sumpah Pemuda yang telah mengikrarkan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan. Persatuan yang kuat hanya bisa tercipta kalau ada bahasa yang digunakan bersama dengan pemahaman yang sama. Meskipun begitu, upaya pembakuan lafal hendaklah dilakukan secara hati-hati karena lafal lebih peka terhadap sentimen sosial. Upaya pembakuan lafal selama ini dapat dipertahankan. Yang perlu ditingkatkan adalah kesadaran kita sebagai pemodel lafal.

Daftar Pustaka

Abercrombie, David. 1956. Problems and Principles Studies in the Teaching of English as a Second Language. London: Longman.
Alwi, Hasan, Soenjono Dardjowidjojo, Hans Lapoliwa, Anton M. Moeliono. 1998. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia (edisi ketiga). Jakarta: Balai Pustaka.
Kridalaksana, Harimurti. 1975. "Tata Cara Standardisasi dan Pengembangan Bahasa Nasional" dalam Pengajaran Bahasa dan Sastra. No. 3 pp 7--14.
Moeliono, Anton M. 1975. "Ciri-Ciri Bahasa Indonesia yang Baku" dalam Pengajaran Bahasa dan Sastra. No. 3. pp. 2--6.
Salim, Emil. 1983. "Membangun Bahasa Pembangunan". Makalah pada Kongres Bahasa Indonesia IV.
Tollefson, James W. 1991. Planning Language, Planning Inequality. London: Longman.
Trudgill, Peter. 1975. Accent Dialect and The School. London: Edwar Arnold Ltd.