Simeulue, Gempa Ayunanmu...

map source: USGS

Banda Aceh, 20 Februari 2008, 15:08 WIB. Bumi bergoyang lagi. Ini bukan kali pertama bumi bergoyang kencang selama aku tinggal di Aceh, tapi gempa kemarin itu terasa cukup lama. Aku sedang bersama teman-teman dari pemerintah provinsi, lembaga-lembaga UN, palang merah dan NGOs di tengah sesi diskusi workshop disaster risk reduction in Aceh di aula pertemuan kantor gubernur.

Practically, semua yang ada di dalam ruang pertemuan itu adalah praktisi pengurangan risiko bencana. Reaksinya pun bermacam-macam. Ada yang langsung menjauh dari jendela kaca, mendekat ke pilar, duduk dan memandangi lampu kristal yang bergoyang-goyang, berlindung di bawah meja. Dan aku, tetap duduk di kursiku sambil memangku laptop. Selain berusaha tetap kelihatan cool, aku juga malas beranjak karena biasanya gempa akan segera berhenti. :p. Which was wrong. Gempa semakin kuat, bumi bergeser ke kanan dan ke kiri, maju mundur, semakin kencang dan kuat. Akhirnya, semua langsung keluar dari ruangan, mengevakuasi diri ke lapangan.

Tanah masih terus bergoyang, sampai aku merasa pusing dan sulit berdiri tegak. “Pose” paling aman yang kupilih adalah duduk di atas bongkahan beton sisa tsunami, memangku laptopku.
Di sini sering terjadi gempa, tapi yang kemarin adalah yang paling kencang yang pernah kurasakan. Serem juga… Sudah tiga kali aku melewatkan gempa besar. Saat itu aku sedang tugas ke Jakarta, lalu di saat lain aku sedang liburan di Semarang, lalu di bulan November 2007, aku sedang di Bangkok. Saat aku kembali ke ruang rapat, aku bertemu reporter Sinabang FM yang pernah kutawari untuk ikut training pengurangan risiko bencana. Wajahnya sedih banget, menyampaikan bahwa Sinabang (ibukota Kabupaten Simeulue) ngga bisa dihubungi…

Setelah itu orang-orang PMI yang ikut workshop langsung sibuk dengan radionya. Koneksi telepon ke Simeulue putus total.
Di SATKORLAK, aku langsung melihat RANET Tsunami Early Warning System network. Hatiku langsung sedih banget begitu lihat di system kalo gempanya adalah gempa darat. Sudah terbayang pasti ada korban, dan ternyata benar. Ingat bahwa gempa Jogja 2006 berskala 6.3 SR. Sekarang, Simeulue itu pulau kecil, dan dihajar gempa 6.6 SR. Kebayang kan?

Sedihnya lagi, di malam hari saat nonton Suara Anda di Metro TV, ngga ada satupun yang memilih berita gempa Sumatra. Yang dipilih malah berita tentang mantan direktur BI, krisis listrik di Jawa dan gedung berputar di Brazil. Padahal aku dan temanku ngebela-belain ngga pulang-pulang dari kafe itu biar bisa nonton beritanya. Ternyata memang bener ya, kalau kita tinggal di Jawa kita melihat Indonesia dengan mata yang berbeda… very often, not as an entity.

Malam aku berusaha menghubungi seorang kepala sekolah dan murid SMP yang Oktober 2007 kami ikutkan ke workshop disaster risk reduction di Bangkok. SMS ngga terkirim, ditelpon juga masih belum bisa. Sedih banget rasanya…

Pagi ini e-mailku terisi data korban terbaru dari PMI, Harian Serambi Indonesia menyebutkan 3 meninggal dan 49 luka-luka, plus foto-foto kepanikan dari Meulaboh dari seorang teman UN di Meulaboh dikirim ke mailing list UNDP ERTR. Teman di SATKORLAK pagi ini berangkat ke Sinabang dengan pesawat Cassa untuk assessment bantuan yang diperlukan bersama jajaran MUSPIDA. Tapi sepertinya nun jauh di Jawa sana, gempa ini cukup sepi dari perhatian ya?

Sekarang aku semakin tahu rasanya jadi penduduk di pulau luar Jawa. Apalagi Simeulue adalah pulau kecil yang kalau penduduknya mau ke Banda Aceh, ibukota provinsinya, aja harus nunggu pesawat yang terbang 2x seminggu, atau naik ferry 2 hari…

Anyway, penduduk di sana sudah terbiasa hidup dengan gempa. Tadi malam aku bicara dengan Ibu Suraiya, Ibu Kos-ku yang cerdas dan baik hati. Kata beliau, Simeulue sering sekali dilanda gempa. Tahun 2002, di atas 7 SR, lalu 2004 dan 2005, di atas 8 SR, lalu tahun lalu, di atas 6 SR. Hampir bisa dipastikan bahwa tiap tahun mereka dilanda gempa di atas 6 SR.

Meski demikian, saat wilayahnya cukup parah dilanda tsunami 2004, hanya 7 orang yang meninggal, karena mereka punya budaya mengenali dan menyelamatkan diri dari Smong, alias tsunami – bahwa kalau ada gempa besar, mereka harus langsung lari ke gunung. Sampai-sampai sajak tua di sana bertutur, “gempa ayunanmu, smong air mandimu…” (serem ya?)

Ilmu menyelamatkan diri ini sudah didata sebagai salah satu kearifan lokal yang dikenali oleh UNESCO dan UN-ISDR (badan PBB untuk pengurangan risiko bencana). Untuk itu tahun lalu aku dapat tugas “berburu” satu orang guru dan satu orang siswa dari Simeulue untuk datang dan bicara di Konferensi PBB tentang Pengurangan Risiko Bencana untuk Asia Pasifik di Bangkok itu…

Local wisdom, atau kearifan lokal, bila terus dijaga sebagai living culture, memang biasanya membuat manusia lebih akrab dengan “bahasa alam”. Jadi saat alam “bicara”, mereka akan tahu bagaimana meresponnya.

Pagi ini SMS dari Bebi, siswi dari Simeulue yang mewakili Indonesia di Konferensi itu, baru masuk ke HP-ku. “Bebi masih di dekat gunung mbak… Gimana Banda?”
Ah, Bebi, sempat-sempatnya bertanya soal Banda.
Gempa memang ayunanmu; Semoga Tuhan selalu melindungimu….
Amiin.