Sakit di Negeri Orang

Euh...
8 hari yang lalu aku bangun dengan tenggorokan super sakit, tulang super ngilu, dan kepala super pusing. Tralala... bantuan pun datang. Makan siang disiapin mamanya Jeff dan dikirim langsung ke tempat tidurku. Ngga perlu kuceritakan detail menunya, yang jelas, meski lagi sakit aku bisa ngehabisin semuanya! nyammm....

Jam 4 sore, Jeff yang lagi libur nganterin aku ke dokter langganannya, pak dokter Jean-Luc Caron di Allée Paul Langevin nomer dua, Zac Ru du Nesles Champs sur Marne. Jeff udah kenal pak dokter ganteng berwajah ramah ini sejak dia lahir.

Jangan bayangin kita bakal ketemu sama mbak perawat yang sibuk ngedaftarin nama pasien menggilin kita satu-satu di ruang praktek dokter di sini. Yang ada, kita masuk ke sebuah gedung apartemen, pencet tombol di atas tulisan "cabinet medical" di pintu masuk dan kunci pintu terbuka. Next step, pencet tombol di depan lift dengan keterangan yang sama, dan naik ke lantai satu. Ngga ada cerita penunggu pasien yang duduk atau berdiri di koridor sambil ngobrol, apalagi ngerokok... yang ada, sebuah ruang tunggu ukuran 6x6 dengan dua warna kursi, merah dan putih...

Euh, tentu aku nggak bisa cerita apa spirit dari dua warna ini seperti aku bercerita tentang warna bendera kita... Yang jelas sih, kursi warna putih adalah tempat duduk pasien dr. Caron, dan warna merah adalah tempat duduk pasien dr. Alain Finet. Mereka memang berbagi tempat praktek.

Semua duduk dengan tertib. Nggak ada poster sponsor perusahaan farmasi di ruang ini. Yang ada poster tentang anatomi tubuh manusia, dan... setumpuk majalah yang enak dibaca, mulai dari le Figaro, Elle, Madmoiselle, sampai journal du Mickey! Kalo kita punya majalah bekas yang masih bagus, daripada dikiloin, lebih baik dikirim ke pak dokter, dan beliau akan menaruhnya di ruang tunggu.

Nggak ada acara kita ngedaftar dan dapet nomor dulu. Semua pasien nyadar giliran mereka. Jadi begitu datang kita harus perhatikan wajah pasien lain satu-satu, biar kita ngga nyerobot giliran orang, dan pak dokter sendiri yang akan membuka pintu ruang tunggu setelah rampung dengan pasien sebelumnya. Beliau biasanya bilang, "en suite, s'il vous plait" alias, "(pasien) selanjutnya, silakan...". Bener-bener efisien dan bersahabat.

Ruang praktek dokter Caron ngga kaya kebanyakan ruang praktek yang pernah kumasuki. Di dindingnya terpajang sketsa wajah Mozart, Bach, Beethoven, sebuah foto mahasiswa seangkatan beliau saat sekolah di Faculté de Médecine Paris, dan beberapa catatan partitur musik klasik.
Pak dokter ini menulis beberapa buku. Bukan buku tentang kesehatan, tapi buku tentang para musisi klasik dan karyanya. Hebat ya?

Ngga ada cerita tentang perawat yang sibuk ngedaftarin pasien, nyiapin dan ngerapiin file buat pak dokter. Di sini, pak dokter melakukan semua pekerjaan itu sendiri, dengan bantuan komputer tentunya. Jadi saat kita masuk ke ruang praktek, dia akan menulis sendiri data kita di komputer yang juga berjejaring dengan pusat layanan social security. Beliau bener-bener memanusiakan pasien. Dia ngga cuma tanya tentang apa yang kita rasakan, tapi dia tanya tentang diet kita, obat yang kita pakai selama ini, sampai semuanya jelas, dan... ini yang jarang kita dapati di Indonesia; kesempatan buat bertanya balik ke pak dokter!
Setidaknya, aku melewatkan 15 menit di ruang itu, dengan bahasa perancis yang pas-pasan, bantuan sebuah kamus dan terjemahan dari Jeff.

Sejak 2 tahun terakhir di Perancis digalakkan kampanye untuk lebih berhati-hati dalam penggunaan antibiotik. Dan, meski dokter bilang aku sakit tenggorokan gara-gara virus nakal, itulah formula resep yang kudapat hari itu. "Sans Antibiotique". Tanpa antibiotik.

Mau tau, berapa banyak biaya yang harus kita keluarkan untuk periksa saja?
29 euro. Untuk tahu jumlahnya dalam rupiah, kalikan dengan Rp. 11.500,-.
Obatku hari itu total berharga 15,71 euro. Silakan kalikan juga dengan Rp. 11.500,-. Itu biaya untuk berobat sakit tenggorokan... hiks. Kebayang dong, kalo kita sakit jantung??

Pak dokter tanya apakah aku punya social security number di Indonesia, sehingga pemerintah akan membantu sebagian biaya pengobatan. "Malhereussement, docteur, nous avons pas...", jawabku. Dan dia bilang ke Jeff, betapa beruntungnya mereka jadi warga negara Perancis dalam hal ini... pemerintah menjamin kesejahteraan sosial warganegaranya. Bukan cuma dalam slogan atau iklan layanan masyarakat, tapi dengan praktek dan SISTEM yang jujur dan benar.

Kembali soal resep tanpa antibiotik.
Sejujurnya aku sempat meragukan resep itu, apalagi setelah memasuki hari ketiga batukku semakin parah. Jeff menelfon pak dokter lagi, dan lewat telfon pak dokter menganalisa jenis batukku, lalu menyiapkan resep baru. Kita ngga perlu bayar lagi untuk periksa, tapi kita bisa dapat resep baru. Asyik ya?

Untuk resep kedua ini kita cuma kehilangan 3,55 euro untuk dua botol obat batuk @150 ml. Not bad...

Tapiiiiiii... batukku nggak kunjung sembuh, malah makin parah.
Pagi kedua setelah dari dokter, aku mimisan cukup parah. Ini mimisan yang pertama seumur hidupku. (buat yang takut darah, langsung loncat aja ke alinea selanjutnya...) Tissue aroma vanilla warna kuning yang kupakai jadi penuh bercak merah. Ngga cuma itu, darah juga keluar dari tenggorokanku. Sakiiiitttt banget, sesakit-sakitnya sakit tenggorokan yang pernah kualami.

Tapi anehnya, di rumah ngga ada yang keliatan panik mendengar hal itu. Ternyata, saat pergantian musim, mimisan adalah hal yang sangat biasa terjadi di sini... Haaauuuuuuuuuwwwww....

Gara-gara batukku, Mag, adik Jeff yang cantik yang bobo di dekatku jadi selalu terbangun tiap malam. Di kelas teman-teman memprotes kedatanganku gara-gara mereka takut ketularan. Tapi... guruku yang baik hati malah makin sayang, bahkan suatu hari beliau nyiapin jus apel dan eclair au café yang uenak tenannnn... =p untuk kumakan di kelas sepanjang pelajaran. Katanya biar cepet kuat ngikutin pelajaran yang berat...hehehehe....kok ngga pernah ada ya, guru di Indonesia yang sebaik itu?

Lama-lama, setelah 5 hari nggak kunjung sembuh, mama Jeff mulai berpikir, jangan-jangan ini gara-gara aku terbiasa dengan antibiotik. Beliau memaksaku balik ke pak dokter lagi.
Sementara, aku mulai berpikir, jangan-jangan ini gara-gara aku jarang berdoa mohon kesehatan. Aku jadi mulai berdzikir lagi malam-malam (shame on me... jangan ditiru ya, inget berdoa kalo lagi sakit doang...)

Sementara, suatu siang, guruku bertanya, "est-ce que une allergie?"
Pertanyaan yang cerdas. Aku jadi terpikir kemungkinan itu. ALERGI. Lagian, kayanya virus-virus sudah keluar dari tubuhku, terbukti, aku ngga lagi sakit tenggorokan, pusing atau sakit tulang.
Auw, tapi alergi apa dong?

Spekulasi pun bermunculan. "Kamu alergi serbuk sari bunga ya?"
"Absolutement non, je pense. J'aime faire le jardinage", jawabku. Aku yang suka berkebun kok dikira alergi serbuk sari bunga...
"alergi debu?"
"alergi bulu kucing?"
"alergi keju perancis?"
"alergi strawberry?" (malam itu makanan penutup kami strawberry dengan whipping cream)
sampai,
"jangan-jangan, kamu alergi Jeff...?"
Keluarga yang lucu. Tapi malam itu aku tetep ngebangunin mereka dengan parade batukku....

Akhirnya, kemarin aku kembali ke dokter.
Betul, dokter bilang satu-satunya kemungkinan adalah alergi. Tapi buat tau aku alergi apa butuh waktu lama dan biaya yang ngga sedikit. Jadi, selain membayar 29 euro lagi buat periksa, hari itu kartu Amex-ku mencatat transaksi 15 euro lagi di pharmacy (apotik) untuk pembelian obat anti alergi dan corticoid.

Meski masih penasaran aku alergi apa, aku mencoba berhenti bertanya-tanya sementara dan melihat fakta bawa banyak sekali orang Perancis yang sakit parah saat musim semi tiba. Semua gara-gara alergi. I'm not alone, and it looks normal, so it's fine.

Malam ini batukku berkurang 90%, meski sesiangan tadi aku jalan-jalan di bawah hujan di Paris. Suhu udara hari ini 7°-14° setelah kemarin sempat mencapai 17°. Hangat, dengan bunga-bunga Dafodil dan Primerose yang mulai bermunculan di kebun belakang dan taman-taman kota. Legaaa... banget rasanya. Semoga malam ini semua bisa bobo nyenyak, termasuk Chachoune si kucing gendut yang suka bobo di sofa orange di kamarku. =D

Yang membuat semakin lega adalah fakta bahwa aku punya travelling insurance yang bagus. Bukan promosi, tapi siapa tahu ini bermanfaat buat teman-teman yang mau travelling ke area Schengen/Uni Eropa. Aku pakai Elvia. Jeff yang pilihin insurance ini. Preminya 75 euro, berlaku untuk 90 hari, dan semua biaya pengobatan di-reimburse dengan transfer langsung ke bank account.

Saat konfirmasi reimbursement mereka memastikan penggantian biaya berobat ini. Bahkan mereka juga tanya, kapan aku pulang, dan pakai pesawat apa. Mereka bilang, mereka siap kirim ambulance kapan saja, bahkan sampai saat-saat terakhir di bandara.

Gubrak. Itu hebat atau terlalu heboh ya? :?/

*** FIN ***