Ini Bukan Perang, Ini Kesetaraan

bekerja bersama, bekerjasama, setara


“Jangan mau kalah sama laki-laki!”
Kalimat ini diucapkan dua orang selebriti ABG di Silet edisi khusus hari Kartini. Mungkin banyak perempuan lain yang meneriakkan pesan yang sama hari ini, di Hari Kartini. Rasanya sepuluh tahun yang lalu aku juga meneriakkan pesan yang sama. Tapi waktu berlalu, dan hari ini aku merasa, pesan itu belum sepenuhnya bercerita tentang pesan yang disampaikan dalam Habis Gelap Terbitlah Terang…

Teman-teman, izinkan saya berpendapat bahwa pesan di Hari Kartini bukanlah masalah kalah atau menang. Ini juga bukan masalah persamaan semata, dimana apa yang bisa dimiliki pria harus bisa dimiliki wanita. Ini masalah emansipasi, emansipasi dalam arti yang jauh lebih luas dari sekedar kemenangan dalam persaingan dengan para lelaki. Ini bukan perang, yang di akhir ceritanya menampilkan salah satu pihak mengibarkan bendera putih tanda menyerah. Ini juga bukan masalah pembagian angka kuadrat dalam ilmu hitung, saat suatu vektor yang dibagi menghasilkan dua bilangan pembagi yang sama besar. Ini seperti pembagian kualitatif, di mana angka yang tercipta dalam pembagian yang dilakukan adalah angka-angka relatif, yang tergantung dari faktor-faktor penentu lain, yang relatif tidak akan menghasilkan angka yang sama dari sudut pandang yang berbeda. Proses perubahannya pun memasuki ranah-ranah perubahan kualitatif dan kuantitatif. Ada perubahan kualitatif, akan menggunakan kaidah qualitative-leap. Kualitatif-lompatan. Lalu perubahan quantitative – accumulative, atau kualitatif – akumulatif, dimana perubahan akan terjadi setelah sekian faktor terakumulasikan.

Emansipasi. Aku yakin, tanpa perlu berdebat tentang teori asal-usul peristilahan, kata itu berasal dari kata emancipation. Dalam buku Tata Bahasa Baku Indonesia, "kitab suci"-ku saat menyelesaikan tugas akhir di bidang linguistik, dijelaskan bahwa Bahasa Indonesia menyerap istilah asing dengan modifikasi akhiran –ion menjadi –asi saat para Ahli Bahasa tidak dapat menemukan padanan kata tersebut dalam Bahasa Indonesia. Ah, begitu sulitnyakah mencari padanan kata ini dalam bahasa ibu kita? Secara dangkal, kita bisa saja berburuk sangka, bahwa ini bukti bahwa kita hidup dalam budaya paternalistik. Bahwa bumi yang disebut-sebut sebagai “Ibu Pertiwi” ini adalah bumi di mana pria berkuasa terlalu lama sehingga manusia di dalamnya tidak pernah membudi-dayakan istilah yang bertentangan dengan makna-makna yang ada dalam ranah bumi milik pria ini. (pertanyaan iseng: ungkinkah karena ini Ibu Pertiwi sering bersusah hati?) :)

Secara sederhana, saat kita melihat di daftar thesaurus dalam aplikasi Microsoft Words, kata emancipation disepadankan dengan liberation, setting free, freeing, release, unrestraint. Semuanya berbau kebebasan. Tidak terbatas. Namun saat kata emansipasi ini digabungkan dengan kata wanita, menjadi frasa “emansipasi wanita”, dan kita memasukkannya sebagai kata kunci pencarian dalam mesin pencari, berderet-deret informasi bertema feminisme memenuhi layar. Emansipasi, ketika bertemu dengan wanita, bergeser makna menjadi “equality” – yang celakanya sejak kita kecil, dalam sistem pendidikan yang mendidikku di era 1980 – 1990-an secara mentah diterjemahkan sebagai "persamaan". Ini yang membuat kebanyakan pria, dan sebagian wanita menyuarakan nada-nada sumbang, tentang mustahilnya seorang perempuan disamakan dengan laki-laki.

Ada yang hilang dalam pemahaman mutlak tentang emansipasi dan equality. Bertanyalah kepada sepuluh orang pria di negeri ini, di sudut-sudut desa, secara acak, apakah mereka setuju dengan persamaan laki-laki dan perempuan. Jawaban klasik yang akan terdengar adalah, “tidak mungkin perempuan sama dengan laki-laki”. Buat perempuan ekstra-sensitif (termasuk aku, beberapa tahun lalu ^_^), jawaban itu membuat jantung berdegup kencang, dan dada terasa panas. Tapi bila kita bertanya lagi, kepada diri kita sendiri, dengan jujur, benarkan “persamaan”, seperti yang ditanamkan dalam pendidikan kita, adalah kata yang semata-mata mencerminkan harapan-harapan akan pembebasan diri, pembebasan ekspresi, pembebasan kreatifitas, kebebasan mengatur fungsi reproduksi, kebebasan berpakaian, kebebasan memilih untuk menikah atau tidak menikah tanpa dibayangi stigma, kebebasan bicara, kebebasan bertindak atau kebebasan-kebebasan lain, yang mungkin terdengar utopis, namun termaknakan dalam kata emansipasi?

Pria bukannya mahluk tanpa masalah hidup. Peran sosial mereka, jamaknya standar pencitraan tentang sosok “lelaki yang baik dan bertanggung jawab”, boys don’t cry, laki-laki tidak sepantasnya berdandan, laki-laki harus kuat, menurutku juga bukanlah hal yang mudah. Apapun kerunyaman (runyam: pinjam istilah Andrea Hirata ah… :p) hidup perempuan, dan apapun kerunyaman hidup laki-laki, yang dituntut oleh struktur sosial semata karena mereka terlahir dengan kelamin yang berbeda, sungguh sangat bisa diperbaiki, agar hidup terasa lebih slaras buat semuanya. Perempuan, bagaimanapun adalah seorang perempuan, dan laki-laki bagaimanapun adalah seorang laki-laki. Fungsi reproduksi yang berbeda membangun pribadi-pribadi yang unik, dengan bakat dan kemampuan yang masing-masing unik pula. Lalu, tepatkah kita bicara “persamaan mutlak” dalam konteks ini?

Kaki kita seharusnya berpijak dalam pengertian penuh, bahwa dalam runyamnya perbedaan itu laki-laki dan perempuan adalah satu mahluk yang sama: manusia. Tidak ada yang lebih rendah, tidak ada yang lebih tinggi, tidak ada yang terlahir lebih mulia dari yang lain (insya Allah kecuali Nabi dan Rasul), tidak ada yang lebih berkuasa, tidak ada yang berhak untuk bertindak semena-mena.

Sayangnya saat bangsa ini belajar tentang Raden Ajeng Kartini dan emansipasi, guru-guru kita, media kita, orangtua kita, dan bangsa kita belum hidup dalam status liberated, set free, freed, released, unrestrained. Lalu bagaimana bisa pesan-pesan emansipasi itu tersampaikan utuh, dalam bentuk yang mudah dicerna oleh manusia-manusia yang baru saja belajar tentang hidup, yang bernama anak-anak dan para siswa?

Seperti halnya segala hal yang diejawantahkan dalam kedangkalan pikir, pengajaran tentang emansipasi di bumi kelahiranku ini banyak menciptakan kondisi hitam-putih yang jauh dari ideal. Bukan kesetaraan yang ditunjukkan, namun bukti-bukti bahwa perempuan bisa bertindak atau bekerja seperti laki-laki. Lupakah kita bahwa tujuan dari segala pergerakan adalah sebenarnya untuk menciptakan harmoni hidup yang lebih baik?

Harmoni berangkat dari penghargaan dan penghormatan atas individu-individu yang ada dalam masyarakat, dengan pemahaman bahwa tiap orang hadir dengan bakat, keinginan dan kebutuhan yang berbeda. Estrogen, progesterone, dan rahim dalam tubuh perempuan diciptakan bukan tanpa alasan yang baik. Demikian pula testosteron dalam tubuh laki-laki, semua ada demi alasan-alasan yang membuat dua mahluk yang berbeda ini saling melengkapi.

Dalam hal kesetaraan laki-laki dan perempuan, tentu meski laki-laki punya keinginan kebutuhan yang berbeda dengan perempuan. Meski demikian, ada bidang-bidang intersection di mana ada keinginan serta kebutuhan yang sama yang ingin terwujudkan. Keinginan, dan kebutuhan sebagai manusia layaknya, yang setara. Keinginan dan kebutuhan, yang bisa diada atau ditiadakan oleh struktur sosial , oleh pendidikan, oleh sistem buatan manusia yang tak peka atas hak-hak dasar dan harkat manusia.

Model-model yang diciptakan dan ditunjukkan (termasuk dalam program berita dan variety show) adalah “perempuan bisa juga jadi sopir truk trailer”, “perempuan jadi tukang tambal ban”, dan lain-lain. Terasa familiar? Yah, begitulah…

Alih-alih menghasilkan pemahaman tentang kesetaraan dan keadilan yang muncul dari kesadaran akan perbedaan keinginan, kemampuan, yang berbanding dengan kebebasan menentukan pilihan hidup, cerita tentang emansipasi yang ditayangkan di media kita semakin membangun dimensi hitam-putih bahwa perempuan tidak boleh kalah dengan laki-laki. Pertanyaannya adalah, benarkah pilihan-pilihan itu dilaksanakan dengan sepenuh keinginan, bukan atas dasar desakan keterpaksaan, atas nama apapun? (baca: desakan ekonomi? Penelantaran suami? Dendam atau pembuktian?)

Adakah di antara media kita, saat hari Kartini yang lalu, bicara tentang day care center – yang memungkinkan seorang ibu tetap bekerja untuk memenuhi kebutuhan ekonomi dan aktualisasi dirinya, dengan tetap merasa bahagia, menjadi ibu yang bisa dekat dengan anak-anaknya? Adakah media yang mengulas bahwa dalam kesetaraan hak perempuan untuk berkarir bersama mitra para laki-laki, ada hak-hak yang harus dipenuhi oleh korporasi sesuai kebutuhan mereka? Adakah yang bercerita tentang kebahagiaan perempuan yang memilih (baca baik-baik ya; memilih) untuk menjadi ibu rumah tangga, meski dari hitungan masyarakat hedonis dia terhitung berpendidikan tinggi dan sebenarnya dapat meraih karir gemilang dengan penghasilan luar biasa tinggi?

Perempuan ini, ibu rumah tangga ini, saya yakin, bukanlah perempuan yang tidak memahami makna emansipasi. Dia bukanlah perempuan yang kalah dari laki-laki. Sebagai pemegang keputusan penting di "Negara" kecilnya, rumah tangga, dia bukan perempuan lemah, selama ada kesetaraan penghormatan dan penghargaan dalam sistem pemerintahan di dalamnya.

Saat guru-guru sejarah kita bercerita tentang emansipasi dengan berangkat dari membaca buku-buku yang berisi ringkasan jalan cerita seorang perempuan ningrat muda yang menulis surat kepada sahabatnya di Belanda tentang sesaknya rasa menjadi seorang perempuan Jawa dan angan-angannya tentang kehidupan perempuan, saat guru-guru kita mengingat bahwa Sang Raden Ajeng membuka sekolah keputrian pertama, cerita itu belum cukup (setidaknya menurutku) untuk membangun pemahaman tentang emansipasi. Ada yang harus diubah.

Persamaan yang setara dan proporsional, mungkin adalah frasa yang tepat bercerita tentang apa yang seharusnya tumbuh dalam kesadaran.Kesadaran tak tumbuh tanpa pendidikan, pemahaman yang benar, hati yang mau membuka rasa, dan pikir yang mau mengarahkan tindakan. Jalan masih panjang. Emansipasi bukan masalah kalah atau menang. Ini masalah pembebasan dan kesetaraan. Tak ada bendera putih yang harus berkibar, yangharus ada adalah sebuah kesepakatan.

Untuk bangsa yang masih belajar, kita masih harus bersabar mengakumulasikan beragam cara untuk mencapai perubahan. Salam hormat untuk semua wanita di Bumi Pertiwi. :)